Cari Blog Ini

Mukoddimah

Bismillahirrohmaninnrohim...

Rabu, 06 Februari 2013

Song Fic (Rindu)

Senja !!!
Entah ini sudah senja ke berapa yang Yoona habiskan di bandara ini. Mungkin sudah senja yang ke-99. Duduk terdiam di depan pintu kedatangan, mengenakan baju terbaiknya, dan berdandan secantik mungkin. Yoona menunggu seseorang, selalu begitu setiap senja tiba.
Semoga hari ini dia datang. Yoona mendesah dalam. Dia masih setia menunggu seseorang yang amat dicintainya. Lee Jong Hyun, namjachingunya yang saat ini sedang meneruskan studynya di Jepang. Sudah sangat lama ia memendam rindu untuk namjachingunya itu. Rindu yang teramat dalam. Parah malahan. Dan ia berharap akan bertemu Jong Hyun hari ini, menuntaskan semua rindu yang ia simpan.
Satu detik...

Satu menit...

Satu Jam...

Yoona masih setia menunggu. Memasang senyum terbaiknya. Pesawat Jong Hyun seharusnya sudah mendarat sejak sejam yang lalu. Mungkin pesawatnya delay, Yoona menenangkan hatinya.

Dua jam...

Tiga Jam...

Dan ini sudah pesawat terakhir yang mendarat dari Jepang. Yoona masih tetap tersenyum, mungkin di pesawat terakhir itu Jong Hyun menumpang. Yoona melihat ke sana kemari, tapi nihil.
Dia tidak pulang lagi hari ini. Mungkin pesawat besok. Tunggu aku besok, Jong Hyun.

Selama aku mencari
Selama aku menanti
Bayang-bayangmu di batas senja
Matahari membakar rinduku
Ku melayang, terbang tinggi...

***
Senja ke seratus sejak pertama kalinya Yoona berdandan cantik untuk bertemu Jong Hyun, dan hingga hari ini pun Yoona masih berdandan cantik, mengenakan baju terbaiknya, memasang senyum terbaiknya dan tetap duduk setia menunggu di depan pintu kedatangan.
Hari ini Jong Hyun pasti datang. Yoona meyakinkan dirinya.

Satu jam...

Dua jam...

Tiga Jam..
.

Pesawat terakhir dari Jepang sudah mendarat, tapi tetap tak ada Jong Hyun di dalamnya. Yoona mendasah lagi. Ini sudah senja ke seratus, kenapa Jong Hyun belum datang juga? Apa mungkin besok? Ah, kurasa besok. Yoona berusaha menenangkan dirinya sendiri. Membesarkan hatinya sendiri dengan meyakini bahwa Jong Hyun pasti pulang, besok senja.
Sudah hampir larut, Yoona akhirnya memilih untuk meninggalkan bandara, dia berjalan dengan sangat gontai. Rasa rindunya pada Jong Hyun semakin membuncah.
Hyunnie... Aku sangat merindukanmu, kapan kau pulang?

CKKITT BRAK !!!

***
Yoona membuka matanya sesaat setelah sinar matahari memaksa masuk melalui celah-celah matanya. Yeoja itu kaget saat mendapati dirinya tengah berada di suatu lapangan yang luas. Ini... Ini dimana? Bukankah tadi...
Yoona melihat sekitarnya, asing memang. Tak ada satupun yang bisa ia kenali, lapangan itu terlalu luas.
Yoona merasakan matanya tertutup oleh tangan seseorang. Yoona yakin kalau yang menutup matanya adalah seorang namja dari besarnya tangan yang menutup matanya itu.
"Jagiya" Yoona terkesiap saat suara lembut namja itu menyusup ke telinganya. Suara yang amat dia kenal.
"Hyun... Kaukah itu?"
Jong Hyun, namja yang menutup mata Yoona tadi melepaskan tangannya dari mata Yoona, lantas tertawa dan memposisikan dirinya di samping Yoona.
"Kenapa kau baru datang sekarang? Bukankah kau janji akan datang tiga bulan yang lalu, Hyun? Kau tega sekali tidak memberi kabar. Susah dihubungi pula."
"Mianhae, Jagiya. Aku banyak urusan yang harus aku selesaikan." Jong Hyun merengkuh Yoona dalam pelukannya.
"Kau tega sekali membuatku menunggumu setiap senja di bandara. Tapi kau tidak pernah datang juga."
"Mianhae, jeongmal mianhae, Jagiya. Yang penting sekarang aku ada di sini menemanimu, kan?" Jong Hyun membelai rambut panjang Yoona dan Yoona semakin dalam membenamkan dirinya dalam pelukan Jong Hyun, dan seketika kerinduan itu menguap.

Bersama mega-mega
Menembus dinding waktu
Ku terbaring dan pejamkan mata
Dalam hati kupanggil namamu
Semoga saja kau dengar dan merasakan...

***

Yoona membuka matanya. Dia melihat sekelilingnya, dan ia sekarang sedang terbaring di atas ranjang putih dalam sebuah kamar yang semuanya serba putih. Ini? Bukankah tadi aku? Jong Hyun? Yoona tersentak, dan langsung terduduk di ranjangnya.
"Noona, kau sudah bangun?" Tanya Min Hyuk yang juga kaget karena Yoona tiba-tiba terbangun.
"Jong Hyun dimana?"
"Tenanglah Noona, nanti hyung datang. Aku panggil dokter dulu yah." Minhyuk pergi meninggalkan Yoona sendirian lagi di kamar itu. Min Hyuk adalah sahabat Jong Hyun yang sudah Jong Hyun anggap sebagai adiknya sendiri.
"Dokter? Bukankah tadi aku bersama Jong Hyun di lapangan?"
Tiba-tiba pintu ruangan itu terbuka, dan Yoona kaget ketika mendapati seorang namja tampan masuk ke dalam ruangan itu. Namja yang sangat ia kenal. Namja yang mengisi hatinya selama dua tahun ini. Lee Jong Hyun. Hari ini ia tampan sekali. Wajahnya jauh lebih bercahaya di banding sebelumnya.
"Hyun... Kau?" Yoona tergagap
Jong Hyun tersenyum, lalu duduk di samping ranjang Yoona.
"Aku senang kau sudah sadar, Jagi. Mianhae membuatmu menungguku setiap senja." Jong Hyun merengkuh tubuh Yoona ke dalam pelukannya. Pelukan yang sudah lama Yoona rindukan. Pelukan yang amat membuatnya nyaman.
"Kau tidak usah menungguku lagi, Jagi. Aku sudah di sini sekarang. Saranghae" Jong Hyun melepaskan pelukannya dan memandang Yoona dengan lekat. Lantas dia mendekatkan wajahnya dengan wajah Yoona hingga hidung mereka bersentuhan. Dan sesaat kemudian, bibir Jong Hyun menyentuh bibir Yoona dengan lembut.

Min Hyuk masuk kamar Yoona bersama seorang dokter, seketika pipi Yoona memerah karena dia yakin bahwa Min Hyuk melihatnya sedang berciuman dengan Jong Hyun tadi.
"Kau kenapa, noona? Mukamu merah begitu? Apa karena dokter Jung ini tampan?" Min Hyuk menggoda Yoona yang tersenyum-senyum sendiri dengan pipi yang merona merah.
"Eh?" Yoona kaget, "Tidak kah kau tadi melihat aku dan Jong Hyun?"
Huft.. Min Hyuk menghela nafas, "Tidak ada Jong Hyun hyung di sini, noona."
"Ada, hyukkie. Dia di sampingku." Yoona menoleh ke arah yang ia yakini bahwa itu keberadaan Jong Hyun. Tidak ada.
"Hyunnie... Kau dimana? Kenapa kau cepat sekali pergi?" Yoona mulai tergagap, dan sesaat kemudian ia menangis.
"Hyunnie..." Yoona terisak "Kau... Dimana?"

Getaran di hatiku
Yang lama haus akan belaianmu
Seperti saat dulu
Saat-saat pertama kau dekap dan kau kecup bibir ini
Dan kau bisikkan kata
Kata aku cinta kepadamu


***
Senja !!!
Sudah senja ke-105 sejak Jong Hyun berjanji untuk pulang. Senja ini, seperti biasa, Yoona sudah bersiap-siap. Memakai pakaian terbaiknya, berdandan yang sangat cantik dan menampilkan senyum terbaiknya. Yoona melangkahkan kakinya dengan riang. Bukan, bukan ke bandara untuk menjemput Jong Hyun tapi... Menyusul Jong Hyun. Jika Jong Hyun tidak pernah datang, maka aku yang harus menyusulnya. Tunggu aku, Hyunnie. Bisik Yoona dalam hati.

Yoona melangkahkan kaki menuju suatu tempat... Padang rumput yang luar biasa indahnya. Yoona duduk di salah satu sisinya, menengadahkan wajahnya ke arah langit. Hamparan awan dan langit yang sudah memerah tampak sangat indah sekali. Ini tempat saat Jong Hyun mengucapkan kalimat ajaib itu, saat dia bilang betapa dia mencintai Yoona dan menginginkan gadis itu menjadi istrinya. Tempat dimana Jong Hyun menyematkan cincin di jari manis Yoona, tanda ikatan mereka... Setahun yang lalu.. Di bawah senja...
"Jagiya... Kalo kita punya anak nanti kita kasih nama Hyun-ah yah. " Ucap Jonghyun sambil memeluk Yoona yang sedang berbaring di sampingnya.
Yoona melirik Jonghyun. Tersenyum. "Saranghae, Hyun"
"Nado" dan sesaat kemudian bibir lembut Jong Hyun mengecup puncak kepala Yoona.

Yoona menangis tersedu. Bayangan itu... Kenangan itu, sungguh Yoona sangat rindu masa-masa itu. Yoona telah kehilangan... Kehilangan sebelah hatinya yang membuat ia sungguh tak sanggup hidup. Yoona menangis... Dan sesaat kemudian semua bayangan tentang masa indah mereka seperti video yang terus berputar-putar di benak Yoona. Air mata Yoona semakin deras, dan sesaat kemudian ia berjalan seperti orang linglung menuju sungai yang ada di sekitar tempat itu... Yoona putus asa.. Ia merasa kehilangan... Dan kenyataan itu membuatnya sangat tersiksa. Jujur saja, dalam diri gadis itu sudah tidak ada lagi semangat untuk hidup.
Yoona berjalan gontai... Niatnya sudah sangat bulat. Ia ingin menyusul Jong Hyun. Sangat ingin... Melalui sungai itu, menyusul bayangan Jong Hyun.

"Noona !!!" Min Hyuk berteriak sambil terus berlari menuju Yoona yang telah berdiri di tepi sungai itu. Bersiap melompat dan mengakhiri semuanya... Menyusul bayangan Jong Hyun.

Peluhku berjatuhan menikmati sentuhan
Perasaan yang teramat dalam
Tlah kau bawa segala yang kupunya
Segala yang kupunya


***
Yoona sudah terlambat setengah jam ketika pesawat Jong Hyun mendarat di bandara. Hari ini Jong Hyun pulang. Yoona amat rindu. Hari ini Yoona amat cantik, dengan rambut yang dikuncir setengah dan dengan dress putih selutut, ia menuju bandara untuk menjemput Jong Hyun.

"Jagiyaaa." Yoona melambai ke arah Jong Hyun yang tersenyum sambil menenteng tas hitam besarnya. Jong Hyun juga tersenyum, menampakkan lesung pipit yang selalu Yoona rindukan.
"Ayo makan, aku lapar." Yoona beraegyo. Manis sekali. Menuntun Jong Hyun menuju salah satu restoran di bandara itu. Seperti biasa, Yoona memesan makanan favoritnya. Tapi Jong Hyun hanya memesan minum...
"Jagi..." Jong Hyun mulai menimbang nimbang untuk berbicara "Kita akhiri saja hubungan ini."
Yoona menghentikan aktivitas makannya, ada rasa sakit menghujam di dadanya.
"Wae?"
"Kita sudah tidak cocok. Aku tidak bisa melaksanakan pernikahan denganmu secepatnya."
"Tapi kan aku bisa nunggu kamu, Jagi. Kapanpun... Setahun lagi, bahkan sampai lima tahun lagi pun, aku masih mau." Nafsu makan Yoona mendadak hilang
"Tidak bisa... Tidak bisa bahkan sampai kapanpun"
"Wae?" Sungguh, Yoona sudah mati-matian menahan air matanya. Nafsu makannya benar-benar hilang saat itu juga.
"Aku sudah tidak pantas untukmu lagi, jagi. Mianhae"
"Wae? Kau... Kenapa? Bukankah kita tidak ada masalah?"
"Aku selingkuh, Yoon."
"Hanya sekedar teman kan? Nggak masalah, jagi. Enggak masalah."
Jong Hyun menggeleng lemah. "Aku sudah tidur dengan dia. Mianhae... Aku sudah tidak pantas untuk kamu. Kita sudahi saja semuanya." Jong Hyun bangkit dan meninggalkan Yoona. Yoona tak kalah cepat menarik tangan Jong Hyun.
"Dengar, aku tidak peduli bagaimanapun kamu, bagaimana masa lalu kamu atau apapun yang telah kamu lakukan. Aku mencintaimu, dan apapun yang ada di diri kamu. Jebal jangan pergi." Kristal bening langsung meluncur di pipinya.
"Mianhae" jong hyun melepaskan genggaman tangan itu, lalu pergi.. Pergi meninggalkan kenyataan yang tidak pernah ingin Yoona akui di senja pertama saat Yoona menjemput Jong hyun di bandara.


***
Yoona tersenyum getir menatap pantulan dirinya di tepi sungai. Anak malang. Yoona justru mengasihani dirinya. Buatnya tak ada lagi harapan untuk hidup sejak senja pertama itu. Dia kehilangan Jong Hyun, sama saja seperti dia kehilangan hidupnya.
"Hyuni... Saranghae" Yoona menutup matanya lantas melompat ke sungai itu.
Dan di belakangnya, Min Hyuk terduduk lemas saat raga gadis yang sangat ia sayangi sudah terbenam dalam sungai itu.
Yoona pergi... Menjemput bayangan Jong Hyun.

Kamis, 31 Januari 2013

Goodbye, my Fellow !!!

Stadion Siliwangi Bandung - Sumpah, Lyra sudah tidak tahan dengan ini semua. Nafas gadis itu menderu, dia menyandarkan dirinya di pagar sekitar pintu masuk stadion itu. Satu tangannya memegang satu botol air mineral dan sebelah tangannya yang bebas memegangi perutnya yang rasanya sangat kram. Lyra duduk sambil meluruskan kakinya, di sebelahnya Aira tak kalah lelah, muka putih Aira sudah pucat. Mengelilingi stadion Siliwangi sebesar itu rasanya lelah sekali. Dari empat putaran yang disyaratkan Lyra hanya berhasil menyelesaikan tiga putaran penuh. Aira dan Nea malah lebih parah, hanya dua setengah putaran.
Ga, kemaren kamu kayak gini enggak? Sumpah ini capek banget. Aku nggak kuat, Ga. Kamu kemana? Katanya mau bawain aku ikan mati biar aku larinya kenceng? Lyra memejamkan mata. Ia rindu pada sosok Gahara, penyemangat hidupnya. Tes fisik untuk Gahara, Idham, dan Dimas sudah selesai dua hari yang lalu, dan kemarin ketiga laki-laki itu sudah kembali ke kampung halaman mereka, Cirebon.
Aga, aku kangen...

"Ly, pulang yok, aku capek." Nea menyadarkan Lyra dari lamunannya. gadis itu sudah berdiri ddi hadapan Lyra.
"Langsung Cirebon yah." Lyra bangkit, sudah tak mampu lagi untuk membendung semua perasaannya. Kalut. Meskipun jaraknya kurang lima puluh meter lagi dari yang disyaratkan, tapi Lyra yakin, dia tidak akan lolos...

***
Cirebon, 10 Agustus - Tiga hari setelah tes itu selesai...

Pagi menjelang, Lyra sudah siap menyalakan sepeda motornya, dan bergegas menuju rumah Nea. Hari ini, nasibnya akan diputuskan, apakah ia dan kawan-kawannya diberi kesempatan lagi untuk melanjutkan tes ataukah terhenti. Lyra tau, kesempatan mereka untuk lolos mungkit sangat kecil, tapi sampai detik itu Lyra masih berharap semoga Tuhan memberikan keajaiban untuk mereka, paling tidak untuk Lyra sendiri.
Lyra memarkirkan motornya di halaman sebuah rumah yang luas. Dia tidak sendiri ternyata, Idham sudah menunggunya di rumah Nea sejam yang lalu.
"Lyra, Aira barusan sms aku. Pengumumannya sih udah ada, tapi yah..." nea menggantungkan ucapannya.
"tidak ada nama kita?" Lyra tersenyum, pas sekali ucapan itu "Kenapa menyerah, itu kan baru dari hape, belum liat langsung dari web kan? Barangkali sebenernya ada. Yuk ke warnet !"

***
Lyra menggigit bibir bawahnya kencang-kencang. Ini mimpi. Ini mimpi kan, Tuhan? Lyra lantas meninggalkan warnet itu seketika. Sekalipun dia sudah menebak nasibnya, tapi tetap saja dia kecewa atas hasilnya. Di sampingnya, Nea tak kalah kecewa, nelangsa malahan. Dia, Aira, dan Nea tidak lolos tes itu. Lyra tau, Aira tau, Nea juga tau, tapi tetap saja kenyataan itu menghancurkan hati mereka, terutama Nea.
Nea sampai tidak kuasa berdiri, dan jelas saja dia sampai meminta Idham untuk memboncengnya pulang.
Nea menangis. Idham dan Lyra tau, menjadi pegawai itu adalah impian Nea, dan mereka cukup mengerti seberapa besar kehancuran hati seorang Nea ketika impiannya harus berhenti hari ini.
Idham menghentikan motornya tiba-tiba di jalan kecil pinggiran sawah.
"Ly, kamu duluan aja deh, biar aku tenangin Nea dulu."
"Tapi kan...." Lyra merasa terabaikan, hey, taukah kalian kalo aku juga sama terlukanya dengan Nea? "Yaudah lah. Ati-ati yah. Nea aku pulang duluan." Lyra tancap gas, ngebut kadang membuat dirinya lebih tenang.
"Jangan nangis lagi. Impian kamu kan enggak cuma ini aja. Setelah ini kan kamu masih bisa jadi seorang guru, Nea." Idham menyentuh pipi Nea dan mengusap buliran bening yang meluncur dari mata Nea.
"Tapi kan kamu tau, Dham, ini impian aku. Aku nggak mau kuliah jadi guru, Dham."
"Kenapa? Karena nanti enggak sama aku lagi?" Idham tertawa melihat Nea yang langsung cemberut mendengar ucapannya. "Nea, sejauh apapun aku, kau akan selalu ada di hati aku karena aku mencintaimu. Love you."
Deg ! Jantung Nea sepertinya berhenti beberapa detik, kata-kata Idham barusan benar-benar membuat wajahnya panas, dan Nea yakin kalau saat ini wajahnya pasti sudah memerah.
"Pacaran yok, mau?" Nea hanya mengerjap-ngerjapkan matanya berkali-kali, tidak percaya atas apa yang Idham katakan barusan.
Tuhan... ini mimpi apa lagi?

***
Lyra menghentikan motornya cepat-cepat di pelataran rumahnya. Segera saja ia berlari menuju kamarnya, mengambil hape pink kesayangannya yang tergeletak begitu saja di tempat ridurnya. Tak sabar, Lyra segera mencari kontak seseorang. Perasaannya hari ini luar biasa kalut. Ia sedih luar biasa tapi ia juga bahagia karena Gahara lolos, dan Lyra ingin dia orang pertama yg memberitahukan Gahara soal ini.
"Halo, Aga, dimana?" ucap Lyra begitu seseorang menjawab teleponnya.
"Bandung, lagi tes kerja. Ada apa?" Lyra menghela nafas. Ucapan Gahara masih dingin terhadapnya.
"Aku cuma mau kasih kabar, kamu lulus tes fisik kemaren. Selamet yah. Tapi aku nggak lulus, Ga." Lyra ingin menangis. Lyra ingin menumpahkan segala perasaannya pada laki-laki yang amat dia cintai itu.
"Oh yaudah, makasih yah. Teleponnya entar aja, aku mau tes."
Huftt... Lyra berkali-kali menghela nafas ketika telepon itu dimatikan. Perlakuan Gahara masih sama dinginnya kepadanya. Lyra semakin yakin kalau Gahara tidak pernah mencintainya sama sekali.
Tuhan... ini cobaan apa lagi?

Kamis, 16 Agustus 2012

Sabtu Sore Itu...


Alia, gadis kecil 6 tahun itu berlari terburu-buru, mencari semak belukar atau tembok atau apa saja yang sekiranya bisa ia gunakan untuk besembunyi. Alia tak ingin jaga. Ia hanya ingin bersembunyi. Bersama Nanda, Dita, Dika dan Sandy, Alia kecil bermain petak umpet di halaman rumah Nanda yang tak jauh dari rumah Alia. Sekarang giliran Dika yang jaga. Semuanya sudah bersembunyi di suatu tempat. Begitu juga dengan Alia. Kepalanya naik turun mengintip dari balik tong sampah rumah Nanda. Mengintai, berharap ia menjadi yang terakhir di temukan. Tapi matahari sudah amat tinggi. Bahkan adzan dhuhur sudah berkumandang satu jam yang lalu. Ini saatnya Alia untuk pergi ke sekolah madrasahnya di Masjid desa.
“Dikaaa…” Alia mengacungkan tangannya. “Alia udahan ya… mau madrasah dulu. Nanti sore Alia main lagi”
“Eh, tapi kan…” Belum selesai Dika berbicara, Alia sudah berlari sekencang-kencangnya meninggalkan mereka. Tidak biasanya, Alia bermain bersama ketiga orang itu. Biasanya ketiga anak itu selalu mengejek Alia, tapi hari ini dengan baik hati mereka mengajak Alia main.
***
Jam lima sore, Alia kembali ke rumah. Tak ada siapapun di rumah itu, kecuali sang nenek Alia yang sudah mulai renta. Alia terus berlari masuk ke kamarnya, menaruh tas sembarangan dan langsung berganti baju. Baju yang sama seperti yang ia pakai saat bermain sebelum madrasah tadi. Baju coklat tua hadiah dari bibi. Alia berlari keluar terburu-buru. Ada janji yang harus ia tunaikan dengan teman-temannya, main.
“Mau kemana kamu? Rumah lagi sepi begini, kenapa malah main?” Nenek Alia marah.
Alia tidak menghiraukan neneknya, gadis enam tahun itu terus berlari meninggalkan rumahnya. Paling juga Bunda sama Ayah lagi di warung. Ini kan Sabtu, biasanya warung rame. Pasti sibuk. Itu yang Alia pikirkan.
Tepat ketika adzan maghrib berkumandang, Alia pulang. Semangat sekali ia. Langsung buru-buru mandi dan mengambil perlengakapan sholatnya. Alia janjian mau pergi ke musholah bareng teman-temannya. Kok rumah masih sepi ya? Kemana ayah dan bunda? Alia sempat heran dengan rumahnya yang masih sepi. Padahal biasanya, sekalipun Sabtu sore, saat maghrib menjelang, Ayah atau Bunda biasanya ada di rumah. Menunaikan sholat maghrib bergantian, baru kemudian kembali ke warung, mencari nafkah lagi. Alia berlari terburu-buru karena takut tertinggal kawan-kawannya.
“Nandaaa…” Teriaknya saat ia sampai di depan pintu rumah Nanda.
“Bentar ya Alia, Nandanya lagi ganti baju. Duduk dulu, nak.” Ibu Nanda dengan ramahnya menyuruh ia duduk di teras. Alia yang lugu hanya manut-manut saja. “Bapak kamu udah pulang, nak?” Tanya ibu Nanda kemudian.
Alia bingung, tak paham dengan pertanyaan Ibu Nanda, bukannya ayahnya ada di warung? “Memangnya ayah pergi kemana, Bu?” Mata Alia menyiratkan seribu pertanyaan.
“Tadi siang, waktu Alia ke madrasah ada dua orang laki-laki pake jaket hitam ke warung Alia. Kata Bapaknya Nanda, laki-laki itu membawa ayah Alia ke mobil jeep. Warungnya ditinggal begitu saja.”
“Ah????” Alia panik, “Ayah Alia diculik?” Alia langsung panik “Alia janji, kalo Alia ketemu sama penculiknya, Alia bakal pukulin penculiknya sampai menyerah. Alia janji.” Ada api di mata Alia, api kemarahan gadis lugu enam tahun.
“Mungkin itu teman ayah Alia. Nanti malam kalau belum pulang baru Alia cari ya.” Ibu Nanda mencoba menenangkan Alia.
Nanda keluar dari rumahnya, lalu bergegas pergi ke musholah untuk mengadi. Sepanjang jalan menuju musholah itu, Alia terus berfikir tentang apa yang terjadi dengan ayahnya. Masa iya ayahnya diculik tapi diam saja? Ayah kan jagoan, masa dibawa paksa ga ngelawan? Pikiran itu terus menghantui Alia. Gadis dengan pikirannya yang masih bersih itu terus berfikir tentang ayahnya yang menghilang secara misterius. Rasanya bercampur aduk. Alia sedih, Alia marah, Alia cemas, Alia bingung, Alia kesal, semuanya bercampur jadi satu dalam hati Alia. Ayah Alia kemana? Pertanyaan itu bahkan tak terjawab sampai saat Alia keluar dari musholah. Bergegas untuk kembali ke rumah.
Jam di dinding rumah Dika menunjukkan pukul 19.30, Alia yang lugu itu memutuskan untuk jajan di warung Dika sebelum ia pulang ke rumah.
“Alia, bapak kamu sudah pulang, nak?” Tanya ibu Dika kepada Alia yang sedang sibuk memilih snak yang ia suka. Seketika Alia terhenti.
“Tidak tahu. Memangnya ayah Alia kemana? Kok semua orang pada nanyain ayah? Ayah diculik pake mobil jeep ya, Bu?” Serentetan pertanyaan ingin tahu Alia terlontar dengan mulus.
“Bukan, sayang. Ayah Alia tidak diculik. Tapi…”
“Ayah kamu kan dibawa polisi, itu gara-gara selingkuh sama Lonte depan rumah Dika.” Dika memotong kata-kata ibunya. Sebuah kalimat yang benar-benar membuat perasaan Alia hancur saat itu juga. Seketika Alia berlari kencang, butiran hangat turun dari matanya. Deras. Alia terus berlari. Sejuta rasa bercampur dalam hatinya. Alia marah, Alia benci, Alia kesal. Alia terus berlari. Ingin sekali ia meninju Dika yang dengan teganya menghina ayah Alia.
BRUKK!!!!
Alia mendorong pintu rumahnya kencang-kencang. Berharap ia bisa menemukan ayahnya sedang duduk di ruang keluarga bersama bunda yang sedang hamil calon adiknya. Alia ingin sekali mengadukan Dika yang telah menghina ayahnya. Alia kesal. Tapi tak ada Ayah dan Bunda di rumah itu. Masih sepi. Masih sama seperti saat Alia tinggal pergi ke masjid sore tadi. Apa Dika benar? Batin Alia mulai bertanya-tanya. Ia berlari ke warungnya, berharap ayahnya ada di sana bersama bundanya. Tapi sekali lagi harapan gadis lugu itu sirna. Tak ada ayah di sana, hanya ada Bunda. Alia berjalan menghampiri bundanya yang tengah duduk di kursi. Warung itu sepi.
“Bunda..” Alia berkata lirih
“Eh, sayang… bagaimana ngajinya tadi? Bisa?” Bunda tersenyum, berusaha menutupi perasaannya yang amat hancur.
“Bisa.” Alia hanya menjawab singkat, “Bunda, ayah dibawa polisi ya?” Alia bertanya ragu-ragu.
“Kata siapa, sayang?”
“Dika yang bilang. Katanya ayah dibawa polisi karena selingkuh sama lonte depan rumahnya. Dika bohong kan, bunda?” Bunda tak bisa lagi menahan haru saat pertanyaan itu keluar dari mulut putri kecilnya. Dan tanpa perlu jawaban pasti dari Bunda, Alia sudah paham. Dika benar. Ia berlari sekencang-kencangnya lagi menuju ke rumahnya. Perasaannya benar-benar hancur. Alia kesal, Alia marah, Alia ingin sekali memaki ayahnya, ingin sekali memberikan wanita itu pelajaran sampai ia tak pernah lagi menyakiti keluarganya. Alia berjanji tidak akan pernah memaafkan wanita itu. Ia berjanji suatu saat nanti ia akan membuat wanita itu menyesal karena sudah membuat keluarganya berantakan.
Alia langsung merobek kertas dari bukunya sesaat setelah ia sampai di rumahnya yang sepi. Si sulung itu benar-benar marah. Di kertas itu ia tulis besar-besar..
ALIA BENCI SAMA AYAH!!!
kertas itu ia tempelkan tepat di pintu lemari baju ayahnya, berharap ayahnya akan membacanya saat ia pulang nanti.
***
Rumah bercat putih yang berdiri kokoh di depan rumah Dika itu, sore ini ramai. Ada dua orang laki-laki berjaket warna hitam mendatangi rumah itu. Mereka membawa seorang perempuan tua dengan dandanan yang amat menor memasuki mobil sedan bertuliskan POLISI dengan paksa. Alia tersenyum puas. Akhirnya, sore ini janjinya tertunaikan. Janjinya untuk membuat wanita itu menyesal telah terlaksanakan. Bukan lewat kekerasan, hanya lewat doa yang tulus. Doa tulus dari seorang gadis lugu yang sekarang telah beranjak dewasa. Doa yang ia panjatkan selama 10 tahun itu akhirnya dijawab oleh Rabbnya. Wanita itu telah tertangkap dan kemungkinan akan dipenjara seumur hidupnya karena membunuh seorang laki-laki yang kata orang adalah kekasih gelapnya. Padahal ia sudah bersuami. Ternyata wanita itu sudah sering menipu banyak laki-laki seperti yang ia lakukan kepada ayah Alia. Ia membuat laki-laki itu takluk padanya, setelah ia berhasil, lantas ia melaporkan laki-laki itu kepada polisi yang bekerja sama dengannya dan menangkap laki-laki itu. Pilihannya cuma dua, dipenjara atau bebas asalkan membayar uang sekian juta. Keluarga laki-laki yang kebanyakan sudah beristri itu lantas membebaskan para laki-laki itu, dan membayar sejumlah uang yang kemudian dipakai wanita itu untuk berfoya-foya. Tapi hari ini semuanya telah berakhir. Alia tersenyum puas sekali lagi.

Sehari Bersama Zahra


Fitrah berlari cepat di koridor rumah sakit. Kakinya terus melangkah menembus orang-orang yang berlalu lalang. Kamar nomor 247, itu tujuannya. Masih 20 meter lagi di depan Fitrah. Matanya sembab, menahan butiran bening yang hampir menetes membasahi pipinya. Tanpa permisi, cowok berkulit putih itu langsung membuka pintu kamar itu. Ia terdiam melihat sosok yang terbaring lemah di hadapannya. Ia berjalan pelan, mendekat ke arah sosok itu. Butiran bening di matanya yang ia bendung sejak tadi, tak mampu ia tahan lagi. Fitrah menangis. Lidahnya kelu menyaksikan cewek yang sangat ia sayangi terbaring lemah di hadapannya dengan kepala diperban kain putih dan slang infus tersambung di punggung tangannya. Hati Fitrah pedih. Rasa sesal membayangi seluruh batinnya. Sejam yang lalu, Fitrah masih bersama Zahra, cewek yang terbaring lemah itu. Meraka baru kembali ke Jakarta setelah berlibur di Bandung kemarin.
“Aku ngantuk, ay,” Fitrah terngiang kata-kata Zahra sesaat setelah kereta yang mereka tumpangi melaju menuju Jakarta. Airmatanya kian meleleh. Ia teringat saat Zahra menyandarkan kepala di bahunya. Ia kembali teringat bagaimana Zahra tertidur di pundaknya. Tenang sekali wajahnya. Lalu semua bayangan tentang Zahra seolah berputar di hadapan matanya.
“Ay, tetep konsentrasi nyetir ya. Apapun yang aku lakukan ke ayang, ayang harus tetep konsentrasi nyetir.” Kata Zahra saat ia dibonceng Fitrah naik motor kemarin. Sejak pagi, Fitrah sudah sampai di rumah Zahra untuk merealisasikan rencana mereka untuk liburan ke Ciwidey. Dengan mengendarai motor, jam 10 pagi, mereka berangkat menuju tempat itu.
“Emanknya ayang mau nglakuin apa sih?” kata Fitrah sambil tertawa geli.
“Appaaaa ajaaaa yang mau aku lakukan. Hehehe “ Zahra tersipu malu. Pipinya merah. Itu yang membuat Fitrah selalu gemas padanya.
Sepanjang jalan yang mereka lalui, mereka isi dengan canda tawa. Perjalanan melelahkan selama satu jam pun tak terasa bagi mereka.
Zahra yang memang takut ngebut, memeluk Fitrah erat-erat saat mereka melewati jalan menanjak yang harus dilalui dengan kecepatan tinggi. Itu selalu ia ulangi setiap kali mereka melewati jalanan menanjak. Zahra, bisa dibilang masih seperti anak kecil. Bukan sifatnya, tapi fikirnya yang polos, yang lugu dan selalu berfikir positif terhadap orang lain. Banyak hal yang ia takuti. Badut, ketinggian, kecapatan, dan satu hal lagi, dia Ichthyophobia.
“Ayang belum mandi ya? Ko bau banget sih ya?” Fitrah jail saat mereka melewati peternakan ayam yang baunya minta ampun.
“Iiih, enak aja. Ayang tuh.” Zahra langsung merapatkan kepalanya di punggung Fitrah untuk menutupi hidungnya dari bau menyengat itu.
Fitrah jail. Ia mengurangi kecepatan motornya berulang kali saat mereka tepat berada di samping peternakan ayam itu.
“Ayang cepet. Baunya nggak nahan nih.” Ucap Zahra sambil terus membenamkan kepalanya.
Airmata Fitrah semakin deras meleleh. Kenangan itu, membuat ia semakin meridukan Zahra untuk kembali. Fitrah melangkah maju mendekati Zahra. Ia bersimpuh di samping Zahra yang masih menutup matanya. Diam tak bergerak.
“Zahra cintaku… Buka matamu, sayang. Kumohon” Ucap Fitrah lirih di dekat telinga Zahra yang masih terbaring lemah. Sekejap, rasa penyesalan menyerbu seluruh batinnya. Penyesalan yang teramat dalam.
Semuanya berawal ketika kereta yang mereka tumpangi melaju melewati stasiun Cikini. Zahra yang menjunjung tinggi akan kejujuran, meminta maaf pada Fitrah karena pernah mendua hati. Menduakan cinta Fitrah. Zahra bilang kalau ia pernah suka pada seorang cowok yang naksir Zahra. Ia kakak tingkat Zahra di kampusnya. Jika ia bertemu dengan cowok itu, teman-teman cowok itu selalu menyoraki mereka berdua. Meskipun dari awal Zahra tak punya perasaan apapun pada cowok itu, tapi lama kelamaan ada rasa aneh yang muncul di hati Zahra. Perasaan suka. Meskipun cuma sehari, tapi Zahra menceritakan kejadian itu pada Fitrah. Zahra terlalu jujur untuk semua hal. Sayangnya, ia tidak paham mana yang harus ia katakan dan yang harus ia pendam.
Dari sorot matanya, Zahra tahu Fitrah marah. Ada perasaan cemburu yang menyerbu hatinya.
“Tapi, ay. Aku Cuma sayang dan cinta sama ayang. Demi Allah.” Ucap Zahra waktu itu untuk meyakinkan Fitrah tentang perasaannya. Ingin rasanya ia memeluk Fitrah saat itu. Tapi selalu saja ada rasa malu yang menyelimuti hati Zahra untuk melakukan itu. Zahra tahu perasaan Fitrah, sekalipun ia menyembunyikannya.
Sesaat kemudian, kereta itu sampai di Stasiun Gambir dan tak lama setelah itu, Zahra pamit pulang ke tempat kosnya.
“Hati-hati di jalan,” kata Fitrah sambil melepas kepergian Zahra.
Dengan senyuman manisnya, Zahra meninggalkan Fitrah. Fitrah memperhatikan cewek yang baru saja meninggalkannya itu sampai ia lenyap di pintu keluar stasiun.
Airmata Fitrah kembali mengalir deras. Ia menggenggam erat tangan Zahra yang masih tak sadarkan diri.
“Kenapa bisa begini, sayang?” Tanya Fitrah pada Zahra yang masih menutup mata. Tak ada jawaban.
“Fitrah,” panggil Nayla, sahabat Zahra yang tanpa Fitrah sadari sedang menunggui Zahra. Menyaksikan lelehan air mata Fitrah. “Tadi, sebelum aku dikabari Zahra masuk rumah sakit, Zahra sempat sms aku. Ia bilang kalau ia bingung mau naik apa untuk pulang ke kos. Kalau naik busway, ia merasa terlalu lelah untuk berjalan jauh menuju halte buswaynya dengan barang bawaannya yang berat. Kalau naik taksi, katanya Zahra pusing kalau terlalu lama dan sendirian. Belum lagi macet. Kalau naik ojek, dia nggak mau karena ia nggak mau boncengan motor sama cwok lain selain kamu. Sedangkan jika dia naik metromini dia harus menyebrang, dan perlu kamu tahu, Zahra tidak bisa menyeberang sendiri di jalan yang ramai tanpa jembatan penyebrangan atau adanya lampu merah.”
“Lalu Zahra memutuskan untuk naik metromini. Meskipun ia tahu, ia tak bia menyeberang sendiri. Katanya, dia pengen belajar nyebrang sendiri biar nggak ngrepotin orang lain. Tapi sayangnya, Tuhan berkehendak lain. Ia mengalami kecelakaan. Menurut bapak yang membawa Zahra ke sini, Zahra tertabrak bus. Saat Zahra menyeberang, lampu lalu lintas masih berwarna merah, tapi ketika Zahra sampai di depan bus itu tiba-tiba lampunya berubah hijau. Tanpa melihat Zahra yang ada di depannya, bus itu melaju dan menabrak Zahra sampai ia seperti ini.” Jelas nayla panjng lebar.
Seketika, penyesalan menyerbu Fitrah. Menyerangnya dari segala arah. Ia menyesal karena membiarkan Zahra pulang sendiri.
“Maafkan aku, Zahra. Maaf atas semua keegoanku. Maaf atas amarahku. Maafkan aku Zahra. Kumohon. Aku cinta kamu, hanya kamu yang ada di hatiku, selamanya. Jangan pergi tinggalkan aku.” Fitrah terus menangis. Matanya sembab.Pipinya yang putih, basah karena linangan air matanya yang tak berhenti. Sesaat, Zahra tersenyum dalam tidurnya.
Fitrah terdiam. Lidahnya kelu. Tak mampu berkata apa-apa ketika alat perekam denyut jantung Zahra menggambarkan garis lurus. Ia langsung meraba denyut nadi Zahra. Sudah tidak ada. Ia lalu mencoba merasakan nafas Zahra, tak terasa apa-apa.
“Zahra… Zahra… Bangun.” Fitrah mengguncang-guncang tubuh Zahra yang sudah tak bernyawa lagi. Zahra pergi untuk selamanya.
“Aku pamit pulang, sayang. Maafkan atas semua salahku.” Ucap Zahra sambil tersenyum manis sekali. Senyum termanis yang pernah Fitrah lihat. Sesaat, Fitrah teringat kata-kata terakhir Zahra sebelum Zahra meninggalkannya di stasiun tadi. Fitrah tak pernah tahu jika senyuman manis itu adalah senyum terakhir dari Zahra untuknya. Senyum yang tak akan pernah ia lihat lagi selamanya. Airmata Fitrah semakin deras meleleh. Ia memeluk tubuh Zahra yang sudah tak bernyawa begitu eratnya.
Hujan masih deras membasahi bumi ini. Mengantarkan kepergian Zahra kembali dalam pelukan Tuhannya. Semua yang mengantar kepergiannya telah kembali menuju rumah mereka masing-masing. Hanya Fitrah yang masih bertahan di samping tempat peristirahatan Zahra yang terakhir. Di depan nisan yang bertuliskan nama Zahra Nuranindya, ia berdoa.
“Tuhanku yang Maha Pengasih, terima kasih karena telah memberikan bidadari terindah untukku. Bidadari yang membimbingku untuk selalu dekat denganMu. Ya Rabb, hari ini, Engkau telah panggil bidadari yang pernah Engkau amanahkan kepadaku. Terimalah ia di sisiMu. Ampuni dosanya, terima amalnya, masukkan ia ke dalam golongan orang-orang yang bertakwa, orang-orang yang mencintaiMu dan RasulMu, dan tetapkanlah ia sebagai bidadari untukku di SugaMu. Amin, ya Rabb.” Fitrah berdoa dengan deraian air mata. Ia amat kehilangan sosok yang begitu mencintai dan dicintainya dengan tulus.
“Fitrah,” Iwan, sahabat Fitrah mendekati Fitrah yang masih larut dalam kesedihannya. “Sudahlah, ini takdir. Ayo pulang, biarkan Zahra beristirahat dengan tenang.” Iwan merangkul Fitrah.
“Tunggu sebentar, Wan.” Fitrah lalu menaruh sekeranjang Edelweiss, bunga yanga amat disukai Zahra, di atas gundukan tanah merah yang masih bertaburkan bunga itu. Ia menaruhnya di dekat nisan yang bertuliskan nama Zahra Nuranindya. Di keranjang yang berisikan edelweiss itu, ia tuliskan “Dari Fitrah untuk Zahra yang tercinta”.
“Baik-baik ya, Sayang. Selamat jalan. I love you so much. Tunggu aku di sana.” Fitrah berdiri lalu pergi meninggalkan peristirahatan Zahra.
Satu lembar kertas jatuh dari saku Fitrah. Ia segera memungutnya sebelum air hujan berhasil membasahi kertas itu. Di lihatnya kertas itu, ada gambar dua sosok yang begitu ia kenal. Teramat akrab. Itu foto terakhir yang diambil Fitrah bersama Zahra di Ciwidey saat mereka berlibur kemarin. Fitrah tersenyum melihat Zahra yang begitu cantik di foto itu. Ia lalu dekap foto itu dengan eratnya. Kini hanya foto itu dan semua kenangan tentang mereka yang akan selalu menjadi pelipur rindu untuk Fitrah.
“Jika cinta tak dapat mempersatukan kita di dunia ini, maka percayalah cinta akan mempersatukan kita di kehidupan selanjutnya.”

Separuh Aku (Song Fic)


Cast    : Jung Yong Hwa
             Park Shin Hye
             Jang Geun Suk
Genre  : Sad Romance, AU
Lenght : One shoot

Discalimer : Castnya cuma minjem nama. Kisah ini asli imajinasi aku. Inspirated from NOAH, Separuh Aku. Ii Songfic pertama yang aku. buat. Maaf kalo ga jelas.
-Happy Reading-


Yonghwa POV

Aku baru saja menyelesaikan tugas kuliahku. Lelah sekali rasanya mengerjakan tugas yang menumpuk sebegitu banyaknya. Aku rebahkan tubuhku ke kasur tercinta yang menemaniku setiap malamnya. Lega sekali rasanya. Ah, nikmatnya... Ditambah suasana langit yang begitu indahnya, hatiku merasa sangat tenang.
Kring..
Handphone kesayanganku berdering. Satu sms masuk. Aku kaget ketika membaca nama pengirim sms itu. Shinhye? Tumben dia sms aku. Bukankah setelah dia bertunangan dengan Geunsuk Hyung dia seperti melupakan aku?

Ottokhae, Yonggie? Oppa jahat. Dia bilang dia berselingkuh dengan teman kerjanya. Sampai di luar batas. Ottokhae? Aku sangat mencintainya, Yong.

Omo !!! Apa yang Shinhye bilang? Hyung selingkuh sampai di luar batas? Sejauh mana?

Dan terjadi lagi kisah lama yang terulang kembali...
Kau terluka lagi dari cinta rumit yang kau jalani...

Aku yakin, jauh di sana Shinhye sedang menangis. Ah, anak ini... Bukankah aku sudah bilang bahwa Hyung bukan yang terbaik. Bukankah dulu setelah satu kali Shinhye memergoki dia selingkuh, aku sudah mengatakan untuk menjauhi hyung? Cinta... Kenapa selalu rumit begini. Ah, Shinhye... Cinta Pertamaku, kenapa begini jadinya? Perasaanku langsung sedih. Sungguh biarpun aku kecewa karena Shinhye lebih memilih hyung, tapi aku tidak pernah menginginkan kejadian yang seperti ini. Aku cepat-cepat mengambil handphoneku, lantas menelepon Shinhye sekarang juga.
Satu kali, tidak ada jawaban...
Dua kali, tidak ada jawaban juga...
Shinhye, dimana kamu? Semoga kamu tidak nekat. Aku langsung khawatir padanya. Aku tahu, Shinhye amat mencintai hyung. Bahkan mereka sudah bertunangan. Aku khawatir Shinhye akan mengambil jalan pintas untuk mengakhiri semuanya.
Aku ingin kau merasa kamu mengerti aku mengerti kamu...
Aku ingin kau sadari cintamu bukanlah dia...
Dengar laraku... Suara hati ini memanggil namamu
Karena separuh aku, dirimu...

Tiga kali...
“Yonggie...” Suara Shinhye parau. Aku yakin sudah lama dia menangis.
“Gwenchana, Shinhye-ah. Semuanya akan baik-baik aja. Ada aku di sini.” Shinhye hanya menangis. Aku menggigit bibir kencang. Menahan tangis yang hampir meledak mendengar kesedihan orang yang amat aku cintai di seberang sana. “Dimana kamu?” Tidak ada jawaban. Shinhye hanya menangis... Terisak pelan, tersedu. Baru kali ini aku mendengarnya menangis lagi, memilukan sekali. Aku memejamkan mata... “Shinhye-ah, dimana?”
“Apartement, Yong” Shinhye terbata. Aku bergegas menujunya. Berlari sekencangnya, menyetir sekencangnya. Berharap akan cepat menemukan gadis itu. Shinhye, tunggu...


“Shinhye-ah, buka pintunya !!!” Aku kalap. Sudah sepuluh kali aku mengetuk pintunya, tapi tidak juga dibuka. Aku semakin khawatir akan keadaan Shinhye.
“Shinhye !!! Buka, ini aku Yonghwa. Aku mohon bukakan pintunya !!!” Wajahku memanas. Jujur, aku sangat khawatir padanya. Tak ada jalan lain, aku harus mendobrak pintu ini.
Satu kali...
Dua kali...
Tiga kali...
Ah, sulitnya... Tuhan aku mohon bantu aku. Aku memohon sungguh-sungguh pada Tuhan agar pintu ini terbuka.
Empat kali...
Ah, akhirnya... Tuhan terima kasih. Aku langsung berlari mencari sosok Shinhye.
“Shinhye-ah, dimana kamu?” Tak ada suara. Aku terus mencarinya sampai ke semua sudut ruangan. Aku kalap. Shinhye tak ada dimanapun. Oh, Tuhan... Dimana ia? Aku putus asa.
Ah, satu pintu lagi belum terbuka. Kamar mandi. Semoga dia ada di sana. Aish... Dikunci.
“Shinhye-ah, kamu di dalam?” Aku semakin panas. Sungguh aku mengkhawatirkan keadaannya. “Shinhye-ah” Sekuat tenaga aku dobrak pintu itu lagi.
Oh, Tuhan... Shinhye... Satu bulir air mataku jatuh. Kaget melihat Shinhye yang menangis sambil terus berusaha untuk menenggelamkan dirinya ke dalam bathtub yang terisi air penuh.
“Shinhye, jangan begini.” Aku meraih tubuhnya... Ia lemah. Mungkin sudah lama ia melakukan ini. Wajahnya merah. Matanya lebam. Aku yakin dia pasti sudah sangat menderita. Aku mengangkatnya lalu merengkuhnya dalam dekapanku.
“Aku di sini, Shinhye... Aku di sini...” Aku tak mampu membendung air mataku lagi. Sungguh, aku tak sanggup menahan tangis lebih lama. Aku menangis bersamanya...
Oh, Tuhan... aku mohon jangan begini...
Kuada di sini
Pahamilah kau tak pernah sendiri
Karena aku slalu di dekatmu saat engkau terjatu
“Shinhye-ah, kajja” Aku menggenggam erat tangan Shinhye. Hari ini, dia ulang tahun. Sudah 4 bulan berlalu sejak peristiwa itu. Shinhye sudah kembali seperti dulu. Shinhye yang ceria. Hari ini aku akan mengajaknya berjalan-jalan. Sekalian memberikan apa saja yang dia mau.
Dia tersenyum. Sungguh aku amat menyukai senyumnya. Semoga, sudah tidak ada lagi Geunsuk di hatinya. Semoga hatinya sudah mulai terbuka.
Aku membawanya ke sebuah danau yang indah. Aku tahu, Shinhye amat menyukai danau. Air mengalir, pepohonan yang rindang, suara burung, dan segala sesuatu yang berhubungan dengan alam.
“Yong, ini indah... Gomawo” Shinhye tersenyum riang. Ia berlari menuju tepi danau. Ia merentangkan tangannya lebar-lebar. Berteriak sesukanya. Aku suka dia yang seperti ini. Shinhye yang penuh semangat. Semoga memang sudah tidak ada lagi kenangan itu di benaknya.
“Shinjye-ah”
“Hmm...” Shinhye menggoyang-goyangkan kakinya di air. Merasakan indahnya danau itu. Kami duduk di jembatan kayu yang sengaja dibuat untuk tempat bersandarnya perahu.
“Aku senang melihatmu tersenyum begini.”
Shinhye menoleh ke arahku yang duduk di sampingnya. Dia tersenyum. Cantik sekali. “Hidup itu terus berjalan, Yong. Bukan berhenti begitu apa yang kita miliki hilang. Sekalipun Oppa pergi, tapi setidaknya aku masuih punya kamu, Yong.”
Deg !!! jantungku berdegup kencang mendengar kata-katanya. Masih punya aku?
“Shinhye-ah... bisakah aku menggantikan posisi Geunsuk di hatimu?”
“Mwo?” Dia menatapku lakat...
“Saranghae, Shinhye. Aku ingin menjadi namjachingumu. Bolehkah?” Wajahku memerah. Ah, kata-kata ini, baru kali ini aku bisa mengucapkannya. Kata-kata yang sudah aku tahan sejak bertahun-tahun yang lalu.
Shinhye memalingkan wajahnya dariku. Kembali memandang hamparan danau. Ia tersenyum.
“Waeyo? Lucu kah? Bukankah aku ini firstlove kamu? Ah, firstlove yang tidak berguna yah. Mianhae karena sudah tidak memperdulikanmu waktu itu. Mianhe karna baru mampu mengatakannya sekarang.” Shinhye hanya tertawa.
“Aniyo, Yonggi” Matanya menerawang jauh, “Nado saranghae... Jeongmal saranghae. Hanya saja aku belum siap untuk sakit hati lagi ketika ternyata kita tidak ditakdirkan bersama sementara aku sudah sangat mencintaimu. Sementara aku tau, kamu dan aku masih harus menyelesaikan sekolah kita.” Shinhye menoleh kearahku, tersenyum. Lantas ia berdiri. “Aku lebih suka begini. Menjadi sahabatmu. Jika nanti Tuhan berkehendak kita berjodoh, kita pati bersama. Kajja. Aku ingin es krim” Shinhye menarik tanganku untuk pergi. Aku mengerti perasaanmu, Shinhye. Tunggu aku, aku pasti akan berusaha untuk membahagiakanmu.
Aku ingin kau merasa kamu mengerti aku mengerti kamu
Aku ingin kau pahami cintamu bukanlah dia...

Matahari sudah memerah. Hampir tenggelam. Komplek Myeongdong sudah sangat ramai. Aku berjalan sambil terus memegangi tangan Shinhye. Aku hanya ingin menjaganya, sekalipun dia bukan yeojachinguku.
“Yonggie, aku pengen es krim” Shinhye mengeluarkan senyum terbaiknya. Ah, Shinhye... kenapa harus begini?
“Hmm... Baiklah. Kau tunggu di sini yah.” Aku menyuruhnya untuk menunggu di depan toko es krim.
“jangan lama-lama, Yong” Shinhye melambaikan tangannya. Manis sekali.
“Chamkamannyo” Aku pergi meninggalkan dia sendiri. Memasuki kedai es krim yang tak jauh dari tempat Shinhye menunggu.
“Gomawo, ahjumma” Satu buah rainbow ice cream dan hazelnut ice cream telah ada di genggamanku. Aku terseneyum. Dia pasti senang dengan ice cream ini. Semoga membuatnya semakin ceria.
CKIIITTT... BRUKKKK
Oh, Tuhan... aku menjatuhkan es krim yang aku pegang... Seketika...

Author POV
“chamkamannyo.” Yonghwa meninggalkan Shinhye sendirian di depan kedai es krim sementara dia membeli dua es krim untuk Shinhye.
Shinhye mengedarkan pandangannya ke arah jalanan. Jalanan ini sungguh ramai. Banyak sekali yang berlalu lalang. Pandangan mata Shinhye terhenti ketika ia melihat seorang namja yang ia kenal baik sedang menyeberang jalan sementara dari arah sampingnya ada sebuah truk yang melaju kencang.
“OPPAAAAAAA” Shinhye berteriak, seketika berlari ke arah namja itu.
CKIIITTT BRUUKKK
Namja itu terguling. Tidak... Dia tidak tertabrak, ada seseorang yang mendorongnya ke tepi. Namja itu bangun, dan menyadari seseorang telah tergeletak tak berdaya di tengah jalan dengan darah yang mengalir deras dari kepalanya. Shinhye yang tertabrak truk itu.
Yonghwa yang baru saja keluar dari kedai es krim langsung menjatuhkan es krimnya seketika saat ia melihat yeoja yang amat dicintainya berdarah-darah di tengah jalan. Dia berlari ke arah yeoja itu. Air matanya mulai menetes. Ia terlambat. Yeoja itu sudah berada dalam pelukan namja lain. Yonghwa hanya mematung di dekat Shinhye, menyaksikan Shinhye dipeluk oleh Geunsuk, namja yang ditolong Shinhye tadi.
“Oppa... Gwenchana?” Shinhye terbata-bata. Nafasnya satu-satu. Geunsuk mulai menangis sambil trus mendekap Shinhye yang terluka parah.
“mian... mi..an..hae, op..opppa” Airmata Shinhye mengalir, suaranya mulai tak terdengar jelas. “Naega.. tid..dak.. bissa.. jaa..di.. gu..ard..dian..angel bu..at.. oppa” Nafas gadis itu satu-satu... “Saranghae, Oppa” Tangan Shinhye terkualai lemah. Shinhye pergi. Selesai sudah tugasnya sebagai guardian angel untuk Geunsuk. Geunsuk menangis seketika, berteriak sekencang-kencangnya. Sementara Yonghwa hanya berdiri sambil terus menahan tangisnya. Hatinya sangat sakit melihat ini semua.
Dengar laraku...
Suara hati ini memanggil namamu
Karena separuh aku, dirimu....

Yonghwa POV
Satu persatu orang pergi meninggalkan tempat peristirahatan terakhir Shinhye. Pemakaman sudah mulai sepi. Hanya tersisa aku dan Geunsuk. Aku benci melihatnya. Sungguh, aku sangat benci melihatnya. Setelah menghancurkan Shinhye, dia malah membuat Shinhye pergi untuk selama-lamanya.
“Shinhye-ah... Mianhae... Mianhae.. Mianhae telah membuatmu terluka. Mianhae Shinhye...” Aku tau, Geunsuk pasti menyesal telah berbuat seperti itu kepada Shinhye. Dia sesenggukan sambil terus memeluk nisan Shinhye. Tapi sungguh, aku benci. Sangat benci melihat tingkahnya.
Aku menuju ke arahnya. Amarahku telah sampai puncak. Aku tidak bisa diam lagi. Cukup untuk semua ini. Aku mendekatinya, mengangkatnya dengan paksa.
BUKK !!! Aku memukulnya, sekali untuk Shinhye yang kau lukai
BUKK !!! aku memukulnya lagi, tepat mengenai wajahnya, dua kali, untuk hidup Shinhye yang hancur
BUKK !!! Tiga kali, aku memukul perutnya, ini untuk lukaku karna harus kehilangan yeoja yang paling aku sayangi.
Cukup tiga kali, aku yakin dia pasti kesakitan. Aku langsung mendorongnya ke tanah. Aku hanya pergi begitu saja, tanpa pernah perduli apa yang terjadi padanya.
Mianhaae, Shinhye-ah...
Dengar laraku...
Suara hati ini memanggil namamu
Karena separuh aku menyentuh laramu...
Semua lukamu tlah menjadi lirihku
Karena separuh aku, dirimu...

-END-

Selasa, 19 Juni 2012

Ketika aku cemburu

"Cemburuku yang pertama adalah jauh sebelum aku mengenalmu, dan hari ini kau sempurnakan cemburuku hingga aku tak sanggup lagi untuk mendefinisikan cemburu macam apa yang aku punya"
-SoekarnoHatta, 9 Juni 2012-  
 

Jumat, 20 April 2012

Ketika Saya Ngefans sama Artis...

Sebelumnya...
mohon maaf untuk semua yang tidak berkenan membaca ini. Hanya ingin membagi galau.

Berawal dari 2 minggu yang lalu, saat aku iseng nonton serial Korea di Youtube (bikin pulsa modem jadi abis). Awalnya aku hanya penasaran sama cerita dari drama itu karena yang main di drama itu adalah para pemain yang sebelumnya sukses di drama You're Beautiful. Memang dari sejak drama itu, aku merasa tertarik sama pemeran Shin Woo yang sifatnya mirip sama calon suamiku. Heeehhheeee :D
Nah, dari situ akhirnya penasaran sama drama Heartstrings yang ujungnya menjadikan aku nekat nonton via youtube. Malam itu... Ah, malam itu membuat menyesal. Kenapa ide iseng itu harus muncul? kenapa harus nekat nonton film itu sampe jam setengah 1 malem, padahal jelas-jelas besok kerja, apa gunanya?
Ah, malam itu... di episode ke-9 mungkin (lupa), ada scene saat Lee Shin (Yong Hwa) memainkan gitar dan menyanyikan lagu "Lucky - Jason Mraz", dan seketika hatiku meleleh (Astaghfirullah) yang ujungnya membawa aku pada kegalauan yang lumayan panjang. Setelah malam itu, entah bagaimana aku malah jadi menggali informasi tentang Yong Hwa sampe iseng download lagu-lagu yang dinyanyikan dia (Astaghfirullah, keterlaluan). Tapi, setelah semua info aku dapat dan semakin sering aku melihat wajahnya, ada rasa aneh di hati ini. Bukan... Bukan cinta pastinya, untuk apa? Toh aku sudah punya yang jauh lebih baik dari. Oke, memang dia ganteng, multitalent, cerdas, fasih berbahasa Inggris, pinter main musik, pinter nyanyi dan pokonya idaman wanita mungkin yah. Tapi ternyata semakin lama aku mencari tahu tentang dia, semakin aku sering liat wajahnya, rasa itu terus muncul. Apa? Galau. Iya, aku galau. Bukan karena aku ingin bertemu dia. Bukan... bukan seperti yang kebanyakan anak perempuan lakukan ketika dia mengagumi sosok idola. Aku galau karena merasa ada sesuatu yang salah. Iya, sesuatu yang amat salah. Apa? Banyak. Untuk apa aku memikirkan dia? Toh dia juga tidak memikirkan aku. Untuk apa aku ingin berkenalan dengan dia? Toh dia juga tidak mau berkenalan sama aku. Untuk apa aku mencari tahu tentang dia? Toh dia juga nggak pernah ingin tahu tentang aku. Semua itu... semua itu membuat aku galau. Membuat aku jadi mirip seperti orang aneh. Untuk apa aku mengagumi dia? Kenapa tidak kagum sama Allah aja yang jelas-jelas lebih punya segalanya?
Astaghfirullah... Allah, kenapa aku melupakan Dia? Ah... ngefans ini membuat aku jadi melupakan Allah...
Seperti itu juga kah yang dilakukan sama remaja cewek lainnya yang ngfans sama artis?
Kenapa aku pengen kenal dia? Kenapa aku nggak pengen kenal sama Allah aja? Padahal lebih gampang kenal sama Allah daripada kenal sama dia. Bukankah Allah justru lebih dekat sama kita? Bukankah dia juga hidup karena Allah. Sama seperti kita yang selalu bergantung sama Allah. Kenapa bukan sama Allah aja ngfansnya? bukankah Allah jauh lebih baik dari dia? Bukankah Allah bisa segalanya? Kenapa bukan sama Allah aja ngefansnya? Kenapa aku repot-repot mencari tahu tentang dia, kenapa tidak mencari tahu tentang Allah aja biar lebih mengenal? Astaghfirullah...

Rabu, 04 Januari 2012

Langit sore ini

Langit sore ini menggantung,
tidak cerah,
tidak juga mendung,
sama seperti langit sore itu,
dan seketika kerinduan menggantung di langit-langit hatiku,
aku kelu menapaki setiap jejaknya di ruangan ini,
tercekat hebat saat tawa riang di wajah lugunya melintas di benakku

aku rindu,
amat merindu...
pada mata bulat hitam
yang selalu memandangiku dengan penuh rasa sayang
pada gigi kelinci yang selalu terlihat saat tersenyum lucu

Aku rindu, amat merindu

Materi STI kelompok 8

Buat temen-temen yang mau materi presentasi kelompok 8, bisa download di sini
Materi STI kelompok 8

Senin, 22 Februari 2010

Di Stadion Siliwangi, Cinta itu Bersemi...

Senja sore telah menghiasi langit Kota Bandung yang cerah. Langitnya merah bersahaja. Teduh. Setelah semuanya selesai mandi dan sholat, 6 sahabat itu pergi ke tempat tes besok, Stadion Siliwangi di jalan Lombok. Angkutan Kota Aceh 02 yang menuju tempat itu, sudah datang, dengan hati yang ingin tahu, mereka semua naik. Jauh. Hampir 1 jam perjalanan yang mereka tempuh. Hampir saja magrib tiba ketika mereka sampai di Stadion Siliwangi. Dengan rasa penasaran yang semakin memuncak, mereka semua turun dari mobil dan berjalan masuk ke tempat ujian besok. Di tribun tempat penonton, mereka duduk, memandangi area stadion yang begitu luasnya.
"Hampir seperti Ranggajati." Aira membandingkan stadion itu dengan stadion Ranggajati, di Cirebon.
Lyra menarik nafas, "Apa kita harus lari mengelilingi lapangan itu?"
Gahara tersenyum, dia tahu, Lyra sangat tidak suka lari. bahkan untuk lari 1 keliling saja, dia bisa tidak kuat, "Tenanglah Ly, kamu pasti bisa." Gahara menyemangati. Ucapan Gahara itu, membuat semangat Lyra muncul, "Tenang, gue bakal bawain ikan buat Lo, ikan mati yang gede banget, biar Lo bisa kuat lari. Hahaha..." Tawa Gahara meledak, puas meledek Lyra yang begitu takut, bisa dibilang Phobia, kepada ikan mati.
"Aga nyebelin." Lyra manyun.
"Kan ultah kemaren Lo bisa lari sampe kenceng gitu. Hehehe..." Gahara masih tidak bisa berhenti tertawa.
"Kamu, takut ikan, Ly?" Dimas ikut nyambung.
"Aga!!! Benci aku sama kamu." ucap Lyra. Gara-gara dia, teman-temannya sampai tahu kelemahan Lyra.
"Benci apa benci, Ly?" Aira ikutan ngeledek Lyra.
Gahara tersenyum manis. 6 sahabat itu tertawa.
"Aduh, dingin." Aira mengelus-elus lengannya.
"Pake sweater gue aja, Ra." Dengan sigap Gahara langsung menawarkan sweaternya.
"Nggak usah." Aira berusaha menolaknya.
Hati Lyra bergetar hebat. Ada yang beda antara Gahara dan Aira. Ada apa? Pikir Lyra.
"Nea ko diem aja sih?" Idham baru berkomentar. Sorot matanya berbeda ketika menatap Nea. Ada yang aneh lagi. "Nea, dingin ya?"
Nea menggeleng pasti.
"terus kenapa?"
"Aku...... takut... nggak bisa lari...Aku... takut... gagal..." Ucap Nea terbata.
"Tenagnglah, Nea... kamu pasti bisa."Idham menyemangati. Kerlingan mata yang aneh. Berbeda dari biasanya. Seperti kerlingan mata Lyra pada Gahara, kerlingan mata Gahara pada Aira. Seperti jatuh cinta.
"Pulang, yuk." Ajak Dimas.
"Ayo."
"Sorry, kita nggak ikut." Seperti rencana awal, Lyra, Aira dan Nea tidak langsung pulang. "Mau ke alun-alun." lanjut Aira.
"Mau ikut?" Sambung Nea
"Mau..." Idham menanggapi.
"Nggak, kita mau pulang." sergah Dimas.
Lyra merogoh saku celananya. Diambilnya sebuah kunci yang bertali warna biru. Lyra menyerahkan kunci itu pada ketiga orang teman lelakinya.
Mereka pisah jalan. Sambil terus berjalan, Lyra memandangi Gahara dengan lekatnya. Perasaannya campur aduk. Melihat sorot mata Gahara pada Aira tadi, rasanya ada yang aneh. Ada perasaan khusus antara Gahara dan Aira. Tapi, Lyra percaya pada Aira. Dia tidak akan menghianati sahabatnya. Seperti Lyra, yang sudah ia anggap saudaranya sendiri. Tapi bagaimana dengan Gahara? Cowok itu. Bisa saja dia berpaling dari Lyra kepada Aira. Bukankah itu sudah sering dia lakukan? Sama halnya dengan 1 bulan yang lalu. Baru ditinggal 2 hari ke Bandung untuk ikut SNMPTN, Gahara sudah berpaling kepada cewek lain, yang jika dibandingkan dengan Lyra, jelas Lyra kalah dalam hal fisik. Cuma fisik. Tidak lebih. Hati Lyra terasa dipenuhi berbagai macam pertanyaan dan persangkaan terhadap Gahara. Gadis itu tidak ingin kehilangan Cinta pertamanya lagi. Lagi. Dulu, awal pertama cinta untuk Gahara bersemi di hati Lyra, Lyra nyaris saja tidak berhasil meluluhkan hati Gahara yang beku. Mirip seperti gunung es. Dingin. Sekali saja, dia tidak pernah bersimpati kepada Lyra. Meskipun dalam ahtinya, Lyra yakin bahwa suatu saat nanti, Gahara akan simpati padanya. Lyra terus berusaha meyakinkan Gahara, bertahun-tahun, bahkan dari mulai kelas 2 SMP sampai ultah ke-17 Lyra . Harapan Lyra akhirnya terkabul. Meskipun hanya sesaat ia merasakan kebahagiaan itu sampai akhirnya Gahara berpaling kepada cewe lain.

Langit senja Bandung, terlihat semakin bersahaja. Setelah keenam sahabat itu berpisah, Lyra, Aira dan Nea langsung menuju tepi jalan raya. Menunggu Angkot Aceh 02. Alun-alun kota, itu tujuan mereka. Setengah jam lagi adzan maghrib akan bergema. Ketiga sahabat itu langsung mencari apa yang mereka butuhkan. Sebenarnya, ini ide Aira untuk membeli baju karena Aira tidak membawa baju olah raga untuk tes besok. Jadilah mereka bersepakat untuk membeli baju di Bandung. Sekalian jalan-jalan katanya. Mereka memasuki satu toko yang letaknya di dekat belokan tempat mereka turun dari angkot. Banyak sekali baju di sana. Bermacam-macam. Pilihan Aira jatuh pada Jaket kaos warna hijau bergambar kodok. Sementara Lyra yang tidak awalnya tidak niat untuk membeli baju, malah tertarik pada busana muslim kaos berwarna pink dan kerudung yang berwarna senada. Ditambah harganya yang bisa dibilang murah, akhirnya Lyra memutuskan untuk membeli busana muslim itu setelah ia sempat berdebat dengan hati nuraninya. Pencarian selesai. Lima menit lagi adzan maghrib berkumandang. Lyra berjalan cepat-cepat. Melirik ke kiri dan ke kanan. Mencari pedagang minuman untuk membatalkan shaumnya. Baru setengah perjalanan menuju masjid Agung Bandung, adzan maghrib berkumandang. Lyra buru-buru membeli satu buah minuman gelas. Ia berbuka.
"Alhamdulillah," Lyra tersenyum. "Laper," lanjutnya.
"Makan yuk," Aira bersemangat.
Lalu ketiga sahabat itu mencari warung tenda di sekitar. Dipilihnya warung nasi goreng untuk acara diner malam ini. Setelah itu, mereka melanjutkan perjalanan untuk sholat maghrib di masjid Agung Bandung, sepuluh meter lagi.
"Subhanallah, masjidnya keren" Seru Aira saat mereka melangkahkan kaki untuk pertama kalinya di masjid besar itu. Aira teramat kagum akan keindahan masjid yang ada di hadapannya itu. Amat megah. Mereka sholat maghrib di lantai dua masjid itu.
"Subhanallah, dalemnya lebih keren." Aira tak henti-hentinya mengagumi masjid itu. Memang begitu megah. Pikir Nea yang dari tadi hanya diam.
Sepuluh menit lagi adzan Isya akan berkumandang saat ketiga sahabat itu selesai menunaikan kewajiban shalat maghribnya.
"Nanggung Isya ya," Ucap Aira yang masih betah berlama-lama di masjid itu.
Lyra dan Nea hanya mengangguk. Tampaknya Lyra dan Nea pun setuju untuk lebih lama lagi di masjid nan agung itu.
Pukul setengah delapan malam, mereka sampai di kamar tempat mereka menginap. Ramai ternyata. Gahara, Idham dan Dimas belum terlelap. Lagi asik main kartu. Sesaat kemudian, Aira mengeluarkan keripik singkong pedas yang sempat ia beli di alun-alun tadi. Sementara Lyra, mengaduk-aduk kantong plastik yang ia bawa. Ia teringat bakpia yang terpaksa ia beli di bus siang tadi.
"Bakpianya..."
"Udah abis, dimakan." Dimas menjawab sebelum Lyra menyelesaikan kalimatnya.
"Oh, yaudah ga apa-apa." Lyra lantas tertawa, teringat bagaimana keadaan bakpia itu sebenarnya. Aira dan Lyra lalu saling berpandangan. Mereka semakin tertawa lebar. Sebenarnya, Lyra berniat membuang bakpia itu. Sudah kotor karena terinjak, apa masih layak untuk dimakan? Bahkan Lyra dan Aira yang tau proses pembelian bakpia itu pun enggan untuk memakannya. Kotor. Tapi melihat bakpia itu sudah disikat habis oleh Gahara, Idham dan Dimas akhirnya Lyra hanya bisa berharap semoga mereka akan baik-baik saja setelah makan bakpia kotor itu. Dan keadaan yang sebenarnya tentang bakpia itu hanya menjadi rahasia yang tak pernah diungkapkan Lyra kepada ketiga sahabat lelakinya itu. Maafkan ya, kawan. Ucap Lyra dalam hati sambil terus tertawa.
"Maen kartu yu," Idham mengajak ketiga sahabat ceweknya untuk turut bermain.
"Eh? Kartu?" Lyra yang menganggap main kartu itu judi merasa bingung dengan ajakan sahabat lelakinya itu.
"Ga judi ko, Ly." gahara mampu menebak apa yang difikirkan Lyra.
"Aku ga bisa eh," Nea nyambung.
"Hayo, aku mau ikutan. Bagi sini kartunya." Aira bersemangat.
"Lyra mau ikutan juga?" Dimas menawarkan, yang ditawarkan hanya diam saja.
"Ly, batuin dunkz. Ga seru kalau sendirian." Aira mulai memohon
"Eh? Euh... aku bantuin Aira aja ya." Lyra nyengir
"Yaudah, cewe-cewe ini satu tim yaaa." Dimas akhirnya mengalah. Pertandingan itu dimulai. Seru sekali. Sebentar-sebentar Dimas kena colekan bedak. Sebentar lagi Idham, lalu Gahara. Tim cewek justru berjaya.
"Wah, jago juga ternyata para cewe ini." Muka Dimas sudah sempurna belepotan dengan bedak.
Keceriaan malam itu berkahir ketika malam semakin beranjak naik, bintang berhias indah di angkasa sana. Dingin masih menyelimuti Bandung dengan sempurna.

Pengikut

Bismillahirrohmanirrohimmm