Cari Blog Ini

Mukoddimah

Bismillahirrohmaninnrohim...

Kamis, 16 Agustus 2012

Sabtu Sore Itu...


Alia, gadis kecil 6 tahun itu berlari terburu-buru, mencari semak belukar atau tembok atau apa saja yang sekiranya bisa ia gunakan untuk besembunyi. Alia tak ingin jaga. Ia hanya ingin bersembunyi. Bersama Nanda, Dita, Dika dan Sandy, Alia kecil bermain petak umpet di halaman rumah Nanda yang tak jauh dari rumah Alia. Sekarang giliran Dika yang jaga. Semuanya sudah bersembunyi di suatu tempat. Begitu juga dengan Alia. Kepalanya naik turun mengintip dari balik tong sampah rumah Nanda. Mengintai, berharap ia menjadi yang terakhir di temukan. Tapi matahari sudah amat tinggi. Bahkan adzan dhuhur sudah berkumandang satu jam yang lalu. Ini saatnya Alia untuk pergi ke sekolah madrasahnya di Masjid desa.
“Dikaaa…” Alia mengacungkan tangannya. “Alia udahan ya… mau madrasah dulu. Nanti sore Alia main lagi”
“Eh, tapi kan…” Belum selesai Dika berbicara, Alia sudah berlari sekencang-kencangnya meninggalkan mereka. Tidak biasanya, Alia bermain bersama ketiga orang itu. Biasanya ketiga anak itu selalu mengejek Alia, tapi hari ini dengan baik hati mereka mengajak Alia main.
***
Jam lima sore, Alia kembali ke rumah. Tak ada siapapun di rumah itu, kecuali sang nenek Alia yang sudah mulai renta. Alia terus berlari masuk ke kamarnya, menaruh tas sembarangan dan langsung berganti baju. Baju yang sama seperti yang ia pakai saat bermain sebelum madrasah tadi. Baju coklat tua hadiah dari bibi. Alia berlari keluar terburu-buru. Ada janji yang harus ia tunaikan dengan teman-temannya, main.
“Mau kemana kamu? Rumah lagi sepi begini, kenapa malah main?” Nenek Alia marah.
Alia tidak menghiraukan neneknya, gadis enam tahun itu terus berlari meninggalkan rumahnya. Paling juga Bunda sama Ayah lagi di warung. Ini kan Sabtu, biasanya warung rame. Pasti sibuk. Itu yang Alia pikirkan.
Tepat ketika adzan maghrib berkumandang, Alia pulang. Semangat sekali ia. Langsung buru-buru mandi dan mengambil perlengakapan sholatnya. Alia janjian mau pergi ke musholah bareng teman-temannya. Kok rumah masih sepi ya? Kemana ayah dan bunda? Alia sempat heran dengan rumahnya yang masih sepi. Padahal biasanya, sekalipun Sabtu sore, saat maghrib menjelang, Ayah atau Bunda biasanya ada di rumah. Menunaikan sholat maghrib bergantian, baru kemudian kembali ke warung, mencari nafkah lagi. Alia berlari terburu-buru karena takut tertinggal kawan-kawannya.
“Nandaaa…” Teriaknya saat ia sampai di depan pintu rumah Nanda.
“Bentar ya Alia, Nandanya lagi ganti baju. Duduk dulu, nak.” Ibu Nanda dengan ramahnya menyuruh ia duduk di teras. Alia yang lugu hanya manut-manut saja. “Bapak kamu udah pulang, nak?” Tanya ibu Nanda kemudian.
Alia bingung, tak paham dengan pertanyaan Ibu Nanda, bukannya ayahnya ada di warung? “Memangnya ayah pergi kemana, Bu?” Mata Alia menyiratkan seribu pertanyaan.
“Tadi siang, waktu Alia ke madrasah ada dua orang laki-laki pake jaket hitam ke warung Alia. Kata Bapaknya Nanda, laki-laki itu membawa ayah Alia ke mobil jeep. Warungnya ditinggal begitu saja.”
“Ah????” Alia panik, “Ayah Alia diculik?” Alia langsung panik “Alia janji, kalo Alia ketemu sama penculiknya, Alia bakal pukulin penculiknya sampai menyerah. Alia janji.” Ada api di mata Alia, api kemarahan gadis lugu enam tahun.
“Mungkin itu teman ayah Alia. Nanti malam kalau belum pulang baru Alia cari ya.” Ibu Nanda mencoba menenangkan Alia.
Nanda keluar dari rumahnya, lalu bergegas pergi ke musholah untuk mengadi. Sepanjang jalan menuju musholah itu, Alia terus berfikir tentang apa yang terjadi dengan ayahnya. Masa iya ayahnya diculik tapi diam saja? Ayah kan jagoan, masa dibawa paksa ga ngelawan? Pikiran itu terus menghantui Alia. Gadis dengan pikirannya yang masih bersih itu terus berfikir tentang ayahnya yang menghilang secara misterius. Rasanya bercampur aduk. Alia sedih, Alia marah, Alia cemas, Alia bingung, Alia kesal, semuanya bercampur jadi satu dalam hati Alia. Ayah Alia kemana? Pertanyaan itu bahkan tak terjawab sampai saat Alia keluar dari musholah. Bergegas untuk kembali ke rumah.
Jam di dinding rumah Dika menunjukkan pukul 19.30, Alia yang lugu itu memutuskan untuk jajan di warung Dika sebelum ia pulang ke rumah.
“Alia, bapak kamu sudah pulang, nak?” Tanya ibu Dika kepada Alia yang sedang sibuk memilih snak yang ia suka. Seketika Alia terhenti.
“Tidak tahu. Memangnya ayah Alia kemana? Kok semua orang pada nanyain ayah? Ayah diculik pake mobil jeep ya, Bu?” Serentetan pertanyaan ingin tahu Alia terlontar dengan mulus.
“Bukan, sayang. Ayah Alia tidak diculik. Tapi…”
“Ayah kamu kan dibawa polisi, itu gara-gara selingkuh sama Lonte depan rumah Dika.” Dika memotong kata-kata ibunya. Sebuah kalimat yang benar-benar membuat perasaan Alia hancur saat itu juga. Seketika Alia berlari kencang, butiran hangat turun dari matanya. Deras. Alia terus berlari. Sejuta rasa bercampur dalam hatinya. Alia marah, Alia benci, Alia kesal. Alia terus berlari. Ingin sekali ia meninju Dika yang dengan teganya menghina ayah Alia.
BRUKK!!!!
Alia mendorong pintu rumahnya kencang-kencang. Berharap ia bisa menemukan ayahnya sedang duduk di ruang keluarga bersama bunda yang sedang hamil calon adiknya. Alia ingin sekali mengadukan Dika yang telah menghina ayahnya. Alia kesal. Tapi tak ada Ayah dan Bunda di rumah itu. Masih sepi. Masih sama seperti saat Alia tinggal pergi ke masjid sore tadi. Apa Dika benar? Batin Alia mulai bertanya-tanya. Ia berlari ke warungnya, berharap ayahnya ada di sana bersama bundanya. Tapi sekali lagi harapan gadis lugu itu sirna. Tak ada ayah di sana, hanya ada Bunda. Alia berjalan menghampiri bundanya yang tengah duduk di kursi. Warung itu sepi.
“Bunda..” Alia berkata lirih
“Eh, sayang… bagaimana ngajinya tadi? Bisa?” Bunda tersenyum, berusaha menutupi perasaannya yang amat hancur.
“Bisa.” Alia hanya menjawab singkat, “Bunda, ayah dibawa polisi ya?” Alia bertanya ragu-ragu.
“Kata siapa, sayang?”
“Dika yang bilang. Katanya ayah dibawa polisi karena selingkuh sama lonte depan rumahnya. Dika bohong kan, bunda?” Bunda tak bisa lagi menahan haru saat pertanyaan itu keluar dari mulut putri kecilnya. Dan tanpa perlu jawaban pasti dari Bunda, Alia sudah paham. Dika benar. Ia berlari sekencang-kencangnya lagi menuju ke rumahnya. Perasaannya benar-benar hancur. Alia kesal, Alia marah, Alia ingin sekali memaki ayahnya, ingin sekali memberikan wanita itu pelajaran sampai ia tak pernah lagi menyakiti keluarganya. Alia berjanji tidak akan pernah memaafkan wanita itu. Ia berjanji suatu saat nanti ia akan membuat wanita itu menyesal karena sudah membuat keluarganya berantakan.
Alia langsung merobek kertas dari bukunya sesaat setelah ia sampai di rumahnya yang sepi. Si sulung itu benar-benar marah. Di kertas itu ia tulis besar-besar..
ALIA BENCI SAMA AYAH!!!
kertas itu ia tempelkan tepat di pintu lemari baju ayahnya, berharap ayahnya akan membacanya saat ia pulang nanti.
***
Rumah bercat putih yang berdiri kokoh di depan rumah Dika itu, sore ini ramai. Ada dua orang laki-laki berjaket warna hitam mendatangi rumah itu. Mereka membawa seorang perempuan tua dengan dandanan yang amat menor memasuki mobil sedan bertuliskan POLISI dengan paksa. Alia tersenyum puas. Akhirnya, sore ini janjinya tertunaikan. Janjinya untuk membuat wanita itu menyesal telah terlaksanakan. Bukan lewat kekerasan, hanya lewat doa yang tulus. Doa tulus dari seorang gadis lugu yang sekarang telah beranjak dewasa. Doa yang ia panjatkan selama 10 tahun itu akhirnya dijawab oleh Rabbnya. Wanita itu telah tertangkap dan kemungkinan akan dipenjara seumur hidupnya karena membunuh seorang laki-laki yang kata orang adalah kekasih gelapnya. Padahal ia sudah bersuami. Ternyata wanita itu sudah sering menipu banyak laki-laki seperti yang ia lakukan kepada ayah Alia. Ia membuat laki-laki itu takluk padanya, setelah ia berhasil, lantas ia melaporkan laki-laki itu kepada polisi yang bekerja sama dengannya dan menangkap laki-laki itu. Pilihannya cuma dua, dipenjara atau bebas asalkan membayar uang sekian juta. Keluarga laki-laki yang kebanyakan sudah beristri itu lantas membebaskan para laki-laki itu, dan membayar sejumlah uang yang kemudian dipakai wanita itu untuk berfoya-foya. Tapi hari ini semuanya telah berakhir. Alia tersenyum puas sekali lagi.

Sehari Bersama Zahra


Fitrah berlari cepat di koridor rumah sakit. Kakinya terus melangkah menembus orang-orang yang berlalu lalang. Kamar nomor 247, itu tujuannya. Masih 20 meter lagi di depan Fitrah. Matanya sembab, menahan butiran bening yang hampir menetes membasahi pipinya. Tanpa permisi, cowok berkulit putih itu langsung membuka pintu kamar itu. Ia terdiam melihat sosok yang terbaring lemah di hadapannya. Ia berjalan pelan, mendekat ke arah sosok itu. Butiran bening di matanya yang ia bendung sejak tadi, tak mampu ia tahan lagi. Fitrah menangis. Lidahnya kelu menyaksikan cewek yang sangat ia sayangi terbaring lemah di hadapannya dengan kepala diperban kain putih dan slang infus tersambung di punggung tangannya. Hati Fitrah pedih. Rasa sesal membayangi seluruh batinnya. Sejam yang lalu, Fitrah masih bersama Zahra, cewek yang terbaring lemah itu. Meraka baru kembali ke Jakarta setelah berlibur di Bandung kemarin.
“Aku ngantuk, ay,” Fitrah terngiang kata-kata Zahra sesaat setelah kereta yang mereka tumpangi melaju menuju Jakarta. Airmatanya kian meleleh. Ia teringat saat Zahra menyandarkan kepala di bahunya. Ia kembali teringat bagaimana Zahra tertidur di pundaknya. Tenang sekali wajahnya. Lalu semua bayangan tentang Zahra seolah berputar di hadapan matanya.
“Ay, tetep konsentrasi nyetir ya. Apapun yang aku lakukan ke ayang, ayang harus tetep konsentrasi nyetir.” Kata Zahra saat ia dibonceng Fitrah naik motor kemarin. Sejak pagi, Fitrah sudah sampai di rumah Zahra untuk merealisasikan rencana mereka untuk liburan ke Ciwidey. Dengan mengendarai motor, jam 10 pagi, mereka berangkat menuju tempat itu.
“Emanknya ayang mau nglakuin apa sih?” kata Fitrah sambil tertawa geli.
“Appaaaa ajaaaa yang mau aku lakukan. Hehehe “ Zahra tersipu malu. Pipinya merah. Itu yang membuat Fitrah selalu gemas padanya.
Sepanjang jalan yang mereka lalui, mereka isi dengan canda tawa. Perjalanan melelahkan selama satu jam pun tak terasa bagi mereka.
Zahra yang memang takut ngebut, memeluk Fitrah erat-erat saat mereka melewati jalan menanjak yang harus dilalui dengan kecepatan tinggi. Itu selalu ia ulangi setiap kali mereka melewati jalanan menanjak. Zahra, bisa dibilang masih seperti anak kecil. Bukan sifatnya, tapi fikirnya yang polos, yang lugu dan selalu berfikir positif terhadap orang lain. Banyak hal yang ia takuti. Badut, ketinggian, kecapatan, dan satu hal lagi, dia Ichthyophobia.
“Ayang belum mandi ya? Ko bau banget sih ya?” Fitrah jail saat mereka melewati peternakan ayam yang baunya minta ampun.
“Iiih, enak aja. Ayang tuh.” Zahra langsung merapatkan kepalanya di punggung Fitrah untuk menutupi hidungnya dari bau menyengat itu.
Fitrah jail. Ia mengurangi kecepatan motornya berulang kali saat mereka tepat berada di samping peternakan ayam itu.
“Ayang cepet. Baunya nggak nahan nih.” Ucap Zahra sambil terus membenamkan kepalanya.
Airmata Fitrah semakin deras meleleh. Kenangan itu, membuat ia semakin meridukan Zahra untuk kembali. Fitrah melangkah maju mendekati Zahra. Ia bersimpuh di samping Zahra yang masih menutup matanya. Diam tak bergerak.
“Zahra cintaku… Buka matamu, sayang. Kumohon” Ucap Fitrah lirih di dekat telinga Zahra yang masih terbaring lemah. Sekejap, rasa penyesalan menyerbu seluruh batinnya. Penyesalan yang teramat dalam.
Semuanya berawal ketika kereta yang mereka tumpangi melaju melewati stasiun Cikini. Zahra yang menjunjung tinggi akan kejujuran, meminta maaf pada Fitrah karena pernah mendua hati. Menduakan cinta Fitrah. Zahra bilang kalau ia pernah suka pada seorang cowok yang naksir Zahra. Ia kakak tingkat Zahra di kampusnya. Jika ia bertemu dengan cowok itu, teman-teman cowok itu selalu menyoraki mereka berdua. Meskipun dari awal Zahra tak punya perasaan apapun pada cowok itu, tapi lama kelamaan ada rasa aneh yang muncul di hati Zahra. Perasaan suka. Meskipun cuma sehari, tapi Zahra menceritakan kejadian itu pada Fitrah. Zahra terlalu jujur untuk semua hal. Sayangnya, ia tidak paham mana yang harus ia katakan dan yang harus ia pendam.
Dari sorot matanya, Zahra tahu Fitrah marah. Ada perasaan cemburu yang menyerbu hatinya.
“Tapi, ay. Aku Cuma sayang dan cinta sama ayang. Demi Allah.” Ucap Zahra waktu itu untuk meyakinkan Fitrah tentang perasaannya. Ingin rasanya ia memeluk Fitrah saat itu. Tapi selalu saja ada rasa malu yang menyelimuti hati Zahra untuk melakukan itu. Zahra tahu perasaan Fitrah, sekalipun ia menyembunyikannya.
Sesaat kemudian, kereta itu sampai di Stasiun Gambir dan tak lama setelah itu, Zahra pamit pulang ke tempat kosnya.
“Hati-hati di jalan,” kata Fitrah sambil melepas kepergian Zahra.
Dengan senyuman manisnya, Zahra meninggalkan Fitrah. Fitrah memperhatikan cewek yang baru saja meninggalkannya itu sampai ia lenyap di pintu keluar stasiun.
Airmata Fitrah kembali mengalir deras. Ia menggenggam erat tangan Zahra yang masih tak sadarkan diri.
“Kenapa bisa begini, sayang?” Tanya Fitrah pada Zahra yang masih menutup mata. Tak ada jawaban.
“Fitrah,” panggil Nayla, sahabat Zahra yang tanpa Fitrah sadari sedang menunggui Zahra. Menyaksikan lelehan air mata Fitrah. “Tadi, sebelum aku dikabari Zahra masuk rumah sakit, Zahra sempat sms aku. Ia bilang kalau ia bingung mau naik apa untuk pulang ke kos. Kalau naik busway, ia merasa terlalu lelah untuk berjalan jauh menuju halte buswaynya dengan barang bawaannya yang berat. Kalau naik taksi, katanya Zahra pusing kalau terlalu lama dan sendirian. Belum lagi macet. Kalau naik ojek, dia nggak mau karena ia nggak mau boncengan motor sama cwok lain selain kamu. Sedangkan jika dia naik metromini dia harus menyebrang, dan perlu kamu tahu, Zahra tidak bisa menyeberang sendiri di jalan yang ramai tanpa jembatan penyebrangan atau adanya lampu merah.”
“Lalu Zahra memutuskan untuk naik metromini. Meskipun ia tahu, ia tak bia menyeberang sendiri. Katanya, dia pengen belajar nyebrang sendiri biar nggak ngrepotin orang lain. Tapi sayangnya, Tuhan berkehendak lain. Ia mengalami kecelakaan. Menurut bapak yang membawa Zahra ke sini, Zahra tertabrak bus. Saat Zahra menyeberang, lampu lalu lintas masih berwarna merah, tapi ketika Zahra sampai di depan bus itu tiba-tiba lampunya berubah hijau. Tanpa melihat Zahra yang ada di depannya, bus itu melaju dan menabrak Zahra sampai ia seperti ini.” Jelas nayla panjng lebar.
Seketika, penyesalan menyerbu Fitrah. Menyerangnya dari segala arah. Ia menyesal karena membiarkan Zahra pulang sendiri.
“Maafkan aku, Zahra. Maaf atas semua keegoanku. Maaf atas amarahku. Maafkan aku Zahra. Kumohon. Aku cinta kamu, hanya kamu yang ada di hatiku, selamanya. Jangan pergi tinggalkan aku.” Fitrah terus menangis. Matanya sembab.Pipinya yang putih, basah karena linangan air matanya yang tak berhenti. Sesaat, Zahra tersenyum dalam tidurnya.
Fitrah terdiam. Lidahnya kelu. Tak mampu berkata apa-apa ketika alat perekam denyut jantung Zahra menggambarkan garis lurus. Ia langsung meraba denyut nadi Zahra. Sudah tidak ada. Ia lalu mencoba merasakan nafas Zahra, tak terasa apa-apa.
“Zahra… Zahra… Bangun.” Fitrah mengguncang-guncang tubuh Zahra yang sudah tak bernyawa lagi. Zahra pergi untuk selamanya.
“Aku pamit pulang, sayang. Maafkan atas semua salahku.” Ucap Zahra sambil tersenyum manis sekali. Senyum termanis yang pernah Fitrah lihat. Sesaat, Fitrah teringat kata-kata terakhir Zahra sebelum Zahra meninggalkannya di stasiun tadi. Fitrah tak pernah tahu jika senyuman manis itu adalah senyum terakhir dari Zahra untuknya. Senyum yang tak akan pernah ia lihat lagi selamanya. Airmata Fitrah semakin deras meleleh. Ia memeluk tubuh Zahra yang sudah tak bernyawa begitu eratnya.
Hujan masih deras membasahi bumi ini. Mengantarkan kepergian Zahra kembali dalam pelukan Tuhannya. Semua yang mengantar kepergiannya telah kembali menuju rumah mereka masing-masing. Hanya Fitrah yang masih bertahan di samping tempat peristirahatan Zahra yang terakhir. Di depan nisan yang bertuliskan nama Zahra Nuranindya, ia berdoa.
“Tuhanku yang Maha Pengasih, terima kasih karena telah memberikan bidadari terindah untukku. Bidadari yang membimbingku untuk selalu dekat denganMu. Ya Rabb, hari ini, Engkau telah panggil bidadari yang pernah Engkau amanahkan kepadaku. Terimalah ia di sisiMu. Ampuni dosanya, terima amalnya, masukkan ia ke dalam golongan orang-orang yang bertakwa, orang-orang yang mencintaiMu dan RasulMu, dan tetapkanlah ia sebagai bidadari untukku di SugaMu. Amin, ya Rabb.” Fitrah berdoa dengan deraian air mata. Ia amat kehilangan sosok yang begitu mencintai dan dicintainya dengan tulus.
“Fitrah,” Iwan, sahabat Fitrah mendekati Fitrah yang masih larut dalam kesedihannya. “Sudahlah, ini takdir. Ayo pulang, biarkan Zahra beristirahat dengan tenang.” Iwan merangkul Fitrah.
“Tunggu sebentar, Wan.” Fitrah lalu menaruh sekeranjang Edelweiss, bunga yanga amat disukai Zahra, di atas gundukan tanah merah yang masih bertaburkan bunga itu. Ia menaruhnya di dekat nisan yang bertuliskan nama Zahra Nuranindya. Di keranjang yang berisikan edelweiss itu, ia tuliskan “Dari Fitrah untuk Zahra yang tercinta”.
“Baik-baik ya, Sayang. Selamat jalan. I love you so much. Tunggu aku di sana.” Fitrah berdiri lalu pergi meninggalkan peristirahatan Zahra.
Satu lembar kertas jatuh dari saku Fitrah. Ia segera memungutnya sebelum air hujan berhasil membasahi kertas itu. Di lihatnya kertas itu, ada gambar dua sosok yang begitu ia kenal. Teramat akrab. Itu foto terakhir yang diambil Fitrah bersama Zahra di Ciwidey saat mereka berlibur kemarin. Fitrah tersenyum melihat Zahra yang begitu cantik di foto itu. Ia lalu dekap foto itu dengan eratnya. Kini hanya foto itu dan semua kenangan tentang mereka yang akan selalu menjadi pelipur rindu untuk Fitrah.
“Jika cinta tak dapat mempersatukan kita di dunia ini, maka percayalah cinta akan mempersatukan kita di kehidupan selanjutnya.”

Separuh Aku (Song Fic)


Cast    : Jung Yong Hwa
             Park Shin Hye
             Jang Geun Suk
Genre  : Sad Romance, AU
Lenght : One shoot

Discalimer : Castnya cuma minjem nama. Kisah ini asli imajinasi aku. Inspirated from NOAH, Separuh Aku. Ii Songfic pertama yang aku. buat. Maaf kalo ga jelas.
-Happy Reading-


Yonghwa POV

Aku baru saja menyelesaikan tugas kuliahku. Lelah sekali rasanya mengerjakan tugas yang menumpuk sebegitu banyaknya. Aku rebahkan tubuhku ke kasur tercinta yang menemaniku setiap malamnya. Lega sekali rasanya. Ah, nikmatnya... Ditambah suasana langit yang begitu indahnya, hatiku merasa sangat tenang.
Kring..
Handphone kesayanganku berdering. Satu sms masuk. Aku kaget ketika membaca nama pengirim sms itu. Shinhye? Tumben dia sms aku. Bukankah setelah dia bertunangan dengan Geunsuk Hyung dia seperti melupakan aku?

Ottokhae, Yonggie? Oppa jahat. Dia bilang dia berselingkuh dengan teman kerjanya. Sampai di luar batas. Ottokhae? Aku sangat mencintainya, Yong.

Omo !!! Apa yang Shinhye bilang? Hyung selingkuh sampai di luar batas? Sejauh mana?

Dan terjadi lagi kisah lama yang terulang kembali...
Kau terluka lagi dari cinta rumit yang kau jalani...

Aku yakin, jauh di sana Shinhye sedang menangis. Ah, anak ini... Bukankah aku sudah bilang bahwa Hyung bukan yang terbaik. Bukankah dulu setelah satu kali Shinhye memergoki dia selingkuh, aku sudah mengatakan untuk menjauhi hyung? Cinta... Kenapa selalu rumit begini. Ah, Shinhye... Cinta Pertamaku, kenapa begini jadinya? Perasaanku langsung sedih. Sungguh biarpun aku kecewa karena Shinhye lebih memilih hyung, tapi aku tidak pernah menginginkan kejadian yang seperti ini. Aku cepat-cepat mengambil handphoneku, lantas menelepon Shinhye sekarang juga.
Satu kali, tidak ada jawaban...
Dua kali, tidak ada jawaban juga...
Shinhye, dimana kamu? Semoga kamu tidak nekat. Aku langsung khawatir padanya. Aku tahu, Shinhye amat mencintai hyung. Bahkan mereka sudah bertunangan. Aku khawatir Shinhye akan mengambil jalan pintas untuk mengakhiri semuanya.
Aku ingin kau merasa kamu mengerti aku mengerti kamu...
Aku ingin kau sadari cintamu bukanlah dia...
Dengar laraku... Suara hati ini memanggil namamu
Karena separuh aku, dirimu...

Tiga kali...
“Yonggie...” Suara Shinhye parau. Aku yakin sudah lama dia menangis.
“Gwenchana, Shinhye-ah. Semuanya akan baik-baik aja. Ada aku di sini.” Shinhye hanya menangis. Aku menggigit bibir kencang. Menahan tangis yang hampir meledak mendengar kesedihan orang yang amat aku cintai di seberang sana. “Dimana kamu?” Tidak ada jawaban. Shinhye hanya menangis... Terisak pelan, tersedu. Baru kali ini aku mendengarnya menangis lagi, memilukan sekali. Aku memejamkan mata... “Shinhye-ah, dimana?”
“Apartement, Yong” Shinhye terbata. Aku bergegas menujunya. Berlari sekencangnya, menyetir sekencangnya. Berharap akan cepat menemukan gadis itu. Shinhye, tunggu...


“Shinhye-ah, buka pintunya !!!” Aku kalap. Sudah sepuluh kali aku mengetuk pintunya, tapi tidak juga dibuka. Aku semakin khawatir akan keadaan Shinhye.
“Shinhye !!! Buka, ini aku Yonghwa. Aku mohon bukakan pintunya !!!” Wajahku memanas. Jujur, aku sangat khawatir padanya. Tak ada jalan lain, aku harus mendobrak pintu ini.
Satu kali...
Dua kali...
Tiga kali...
Ah, sulitnya... Tuhan aku mohon bantu aku. Aku memohon sungguh-sungguh pada Tuhan agar pintu ini terbuka.
Empat kali...
Ah, akhirnya... Tuhan terima kasih. Aku langsung berlari mencari sosok Shinhye.
“Shinhye-ah, dimana kamu?” Tak ada suara. Aku terus mencarinya sampai ke semua sudut ruangan. Aku kalap. Shinhye tak ada dimanapun. Oh, Tuhan... Dimana ia? Aku putus asa.
Ah, satu pintu lagi belum terbuka. Kamar mandi. Semoga dia ada di sana. Aish... Dikunci.
“Shinhye-ah, kamu di dalam?” Aku semakin panas. Sungguh aku mengkhawatirkan keadaannya. “Shinhye-ah” Sekuat tenaga aku dobrak pintu itu lagi.
Oh, Tuhan... Shinhye... Satu bulir air mataku jatuh. Kaget melihat Shinhye yang menangis sambil terus berusaha untuk menenggelamkan dirinya ke dalam bathtub yang terisi air penuh.
“Shinhye, jangan begini.” Aku meraih tubuhnya... Ia lemah. Mungkin sudah lama ia melakukan ini. Wajahnya merah. Matanya lebam. Aku yakin dia pasti sudah sangat menderita. Aku mengangkatnya lalu merengkuhnya dalam dekapanku.
“Aku di sini, Shinhye... Aku di sini...” Aku tak mampu membendung air mataku lagi. Sungguh, aku tak sanggup menahan tangis lebih lama. Aku menangis bersamanya...
Oh, Tuhan... aku mohon jangan begini...
Kuada di sini
Pahamilah kau tak pernah sendiri
Karena aku slalu di dekatmu saat engkau terjatu
“Shinhye-ah, kajja” Aku menggenggam erat tangan Shinhye. Hari ini, dia ulang tahun. Sudah 4 bulan berlalu sejak peristiwa itu. Shinhye sudah kembali seperti dulu. Shinhye yang ceria. Hari ini aku akan mengajaknya berjalan-jalan. Sekalian memberikan apa saja yang dia mau.
Dia tersenyum. Sungguh aku amat menyukai senyumnya. Semoga, sudah tidak ada lagi Geunsuk di hatinya. Semoga hatinya sudah mulai terbuka.
Aku membawanya ke sebuah danau yang indah. Aku tahu, Shinhye amat menyukai danau. Air mengalir, pepohonan yang rindang, suara burung, dan segala sesuatu yang berhubungan dengan alam.
“Yong, ini indah... Gomawo” Shinhye tersenyum riang. Ia berlari menuju tepi danau. Ia merentangkan tangannya lebar-lebar. Berteriak sesukanya. Aku suka dia yang seperti ini. Shinhye yang penuh semangat. Semoga memang sudah tidak ada lagi kenangan itu di benaknya.
“Shinjye-ah”
“Hmm...” Shinhye menggoyang-goyangkan kakinya di air. Merasakan indahnya danau itu. Kami duduk di jembatan kayu yang sengaja dibuat untuk tempat bersandarnya perahu.
“Aku senang melihatmu tersenyum begini.”
Shinhye menoleh ke arahku yang duduk di sampingnya. Dia tersenyum. Cantik sekali. “Hidup itu terus berjalan, Yong. Bukan berhenti begitu apa yang kita miliki hilang. Sekalipun Oppa pergi, tapi setidaknya aku masuih punya kamu, Yong.”
Deg !!! jantungku berdegup kencang mendengar kata-katanya. Masih punya aku?
“Shinhye-ah... bisakah aku menggantikan posisi Geunsuk di hatimu?”
“Mwo?” Dia menatapku lakat...
“Saranghae, Shinhye. Aku ingin menjadi namjachingumu. Bolehkah?” Wajahku memerah. Ah, kata-kata ini, baru kali ini aku bisa mengucapkannya. Kata-kata yang sudah aku tahan sejak bertahun-tahun yang lalu.
Shinhye memalingkan wajahnya dariku. Kembali memandang hamparan danau. Ia tersenyum.
“Waeyo? Lucu kah? Bukankah aku ini firstlove kamu? Ah, firstlove yang tidak berguna yah. Mianhae karena sudah tidak memperdulikanmu waktu itu. Mianhe karna baru mampu mengatakannya sekarang.” Shinhye hanya tertawa.
“Aniyo, Yonggi” Matanya menerawang jauh, “Nado saranghae... Jeongmal saranghae. Hanya saja aku belum siap untuk sakit hati lagi ketika ternyata kita tidak ditakdirkan bersama sementara aku sudah sangat mencintaimu. Sementara aku tau, kamu dan aku masih harus menyelesaikan sekolah kita.” Shinhye menoleh kearahku, tersenyum. Lantas ia berdiri. “Aku lebih suka begini. Menjadi sahabatmu. Jika nanti Tuhan berkehendak kita berjodoh, kita pati bersama. Kajja. Aku ingin es krim” Shinhye menarik tanganku untuk pergi. Aku mengerti perasaanmu, Shinhye. Tunggu aku, aku pasti akan berusaha untuk membahagiakanmu.
Aku ingin kau merasa kamu mengerti aku mengerti kamu
Aku ingin kau pahami cintamu bukanlah dia...

Matahari sudah memerah. Hampir tenggelam. Komplek Myeongdong sudah sangat ramai. Aku berjalan sambil terus memegangi tangan Shinhye. Aku hanya ingin menjaganya, sekalipun dia bukan yeojachinguku.
“Yonggie, aku pengen es krim” Shinhye mengeluarkan senyum terbaiknya. Ah, Shinhye... kenapa harus begini?
“Hmm... Baiklah. Kau tunggu di sini yah.” Aku menyuruhnya untuk menunggu di depan toko es krim.
“jangan lama-lama, Yong” Shinhye melambaikan tangannya. Manis sekali.
“Chamkamannyo” Aku pergi meninggalkan dia sendiri. Memasuki kedai es krim yang tak jauh dari tempat Shinhye menunggu.
“Gomawo, ahjumma” Satu buah rainbow ice cream dan hazelnut ice cream telah ada di genggamanku. Aku terseneyum. Dia pasti senang dengan ice cream ini. Semoga membuatnya semakin ceria.
CKIIITTT... BRUKKKK
Oh, Tuhan... aku menjatuhkan es krim yang aku pegang... Seketika...

Author POV
“chamkamannyo.” Yonghwa meninggalkan Shinhye sendirian di depan kedai es krim sementara dia membeli dua es krim untuk Shinhye.
Shinhye mengedarkan pandangannya ke arah jalanan. Jalanan ini sungguh ramai. Banyak sekali yang berlalu lalang. Pandangan mata Shinhye terhenti ketika ia melihat seorang namja yang ia kenal baik sedang menyeberang jalan sementara dari arah sampingnya ada sebuah truk yang melaju kencang.
“OPPAAAAAAA” Shinhye berteriak, seketika berlari ke arah namja itu.
CKIIITTT BRUUKKK
Namja itu terguling. Tidak... Dia tidak tertabrak, ada seseorang yang mendorongnya ke tepi. Namja itu bangun, dan menyadari seseorang telah tergeletak tak berdaya di tengah jalan dengan darah yang mengalir deras dari kepalanya. Shinhye yang tertabrak truk itu.
Yonghwa yang baru saja keluar dari kedai es krim langsung menjatuhkan es krimnya seketika saat ia melihat yeoja yang amat dicintainya berdarah-darah di tengah jalan. Dia berlari ke arah yeoja itu. Air matanya mulai menetes. Ia terlambat. Yeoja itu sudah berada dalam pelukan namja lain. Yonghwa hanya mematung di dekat Shinhye, menyaksikan Shinhye dipeluk oleh Geunsuk, namja yang ditolong Shinhye tadi.
“Oppa... Gwenchana?” Shinhye terbata-bata. Nafasnya satu-satu. Geunsuk mulai menangis sambil trus mendekap Shinhye yang terluka parah.
“mian... mi..an..hae, op..opppa” Airmata Shinhye mengalir, suaranya mulai tak terdengar jelas. “Naega.. tid..dak.. bissa.. jaa..di.. gu..ard..dian..angel bu..at.. oppa” Nafas gadis itu satu-satu... “Saranghae, Oppa” Tangan Shinhye terkualai lemah. Shinhye pergi. Selesai sudah tugasnya sebagai guardian angel untuk Geunsuk. Geunsuk menangis seketika, berteriak sekencang-kencangnya. Sementara Yonghwa hanya berdiri sambil terus menahan tangisnya. Hatinya sangat sakit melihat ini semua.
Dengar laraku...
Suara hati ini memanggil namamu
Karena separuh aku, dirimu....

Yonghwa POV
Satu persatu orang pergi meninggalkan tempat peristirahatan terakhir Shinhye. Pemakaman sudah mulai sepi. Hanya tersisa aku dan Geunsuk. Aku benci melihatnya. Sungguh, aku sangat benci melihatnya. Setelah menghancurkan Shinhye, dia malah membuat Shinhye pergi untuk selama-lamanya.
“Shinhye-ah... Mianhae... Mianhae.. Mianhae telah membuatmu terluka. Mianhae Shinhye...” Aku tau, Geunsuk pasti menyesal telah berbuat seperti itu kepada Shinhye. Dia sesenggukan sambil terus memeluk nisan Shinhye. Tapi sungguh, aku benci. Sangat benci melihat tingkahnya.
Aku menuju ke arahnya. Amarahku telah sampai puncak. Aku tidak bisa diam lagi. Cukup untuk semua ini. Aku mendekatinya, mengangkatnya dengan paksa.
BUKK !!! Aku memukulnya, sekali untuk Shinhye yang kau lukai
BUKK !!! aku memukulnya lagi, tepat mengenai wajahnya, dua kali, untuk hidup Shinhye yang hancur
BUKK !!! Tiga kali, aku memukul perutnya, ini untuk lukaku karna harus kehilangan yeoja yang paling aku sayangi.
Cukup tiga kali, aku yakin dia pasti kesakitan. Aku langsung mendorongnya ke tanah. Aku hanya pergi begitu saja, tanpa pernah perduli apa yang terjadi padanya.
Mianhaae, Shinhye-ah...
Dengar laraku...
Suara hati ini memanggil namamu
Karena separuh aku menyentuh laramu...
Semua lukamu tlah menjadi lirihku
Karena separuh aku, dirimu...

-END-

Pengikut

Bismillahirrohmanirrohimmm